GIRLISME.COM – Tulisan ini muncul karena sejujurnya semakin hari, saya semakin merasa tidak bisa nyambung dengan penokohan, alur cerita, dan setting yang ada di tayangan TV Indonesia, khususnya pada FTV, sinetron, bahkan variety dan reality show Indonesia. Ada rasa jengah dan muak karena kemudian di sana bahkan saya tidak menemukan karakter-karakter perempuan yang bisa membawa hal-hal positif tentang perempuan. Saya merasa bahwa harus mulai ada perubahan dari kita sebagai audiens, tentang bagaimana kita seharusnya menyikapi acara-acara ini. Karena dengan begitu kita bisa memfasilitasi diri sendiri dengan kualitas pikiran yang setidaknya bisa mengetahui bahwa di dalam suatu konten TV, tidak semuanya berfaedah.

 

The creator of unbalanced beauty representation…

Sebagian besar isi dari sinetron dan FTV Indonesia adalah perempuan-perempuan dengan defnisi cantik yang mainstream dan tidak jauh-jauh dari pengaruh budaya luar ; barat dan asia layaknya korea-koreaan.

Cantik itu ya langsing, putih, mulus, jenjang, kulitnya putih. Jarang sekali yang berada di bawah standar cantik mainstream itu diberikan ruang banyak dan diekspose layaknya mereka yang memiliki porsi tubuh sesuai dengan maunya media.

 

Dalam ranah ini mereka yang baik pastilah direpresentasikan dengan tampilan fisik yang setidaknya lebih cantik daripada yang jahat. Layaknya seperti mengajari anak-anak dalam menonton film super hero, bahwa yang pakaiannya bagus adalah yang baik dan sisanya yang seperti monster adalah yang jahat.

Porsi yang tidak imbang ini akhirnya memberikan persepsi yang keliru pada msayarakat dalam memaknai hal-hal fisik,  bahwa mereka yang cantik sajalah yang memiliki kesempatan untuk mendapatmen kehidupan yang baik. Representasi perempuan jelek menjadi pemain lapis dua, dan menjadi sosok yang antagonispun kemudian berubah menjadi sesuatu yang keliru.

 

Karena sebenarnya baik dan tidaknya seseorang, tidak lantas digeneralisasikan dengan bentuk tubuh. Artinya yang cantikpun bisa jahat perilakunya, dan yang tidak cantik harusnya sah-sah saja jadi peran utama.

 

Sampai kemudian cantik fisik ini jadi tolak ukur siapakah yang paling cocok untuk tampil jadi si baik atau si protagonis.  Ketika pemeran perempuan utamanya tidak lebih cantik dari perempuan yang menjadi pemain lapis dua, malahan akan ada yang nyeletuk “Cantikan yang itu gak sih? Harusnya dia yang jadi bintangnya.”

Memang sifat dasar manusia itu menyukai yang indah-indah, namun dalam hal ini media mempunyai tanggungjawab yang besar juga dalam membentuk persepsi dan sudut pandang masyarakat mengenai makna kecantikan, dan bagaimana seorang perempuan harusnya memandang dirinya sendiri. Sehingga ketika kemudian perempuan tidak cantik, ya belum tentu dia tidak baik. Tidak ada yang arus diminderkan dan dibuat menjadi aib hanya karena bentuk fisik yang tidak sesuai dengan standar rata-rata yang dilegalkan oleh media.

 

 

Sifat perempuan ada 3 : Terlalu baik, terlalu jahat, terlalu bodoh.

Hal lain yang membuat saya menjadi tidak nyambung dengan tayangan TV Indonesia juga adalah karena karakter perempuannya diatur terlalu berlebihan, dan sama sekali tidak memberikan cerminan yang seharusnya bisa membangun dan memotivasi perempuan ke arah yang lebih berdaya.

Misalnya saja si tokoh antagaonis perempuan, saking jahatnya, saya sebagai penonton sampai tidak habis pikir, ini orang kok bisa sebegitu jahatnya, dan TIDAK PERNAH KETAHUAN kejahatannya secara ajaib. Melakukan kejahatan setiap hari, membenci dan sebegitu sukanya melakukan hal negatif, dengan embel-embel sifat perempuan yang nyinyir, kikir, dan keras hati, seolah-olah sudah pasti menjadi bagian dari perilaku perempuan.

Tapi jika tidak terlalu jahat, maka tokoh perempuan lainnya akan jadi terlalu baik, dan kelewat sabar.

 

Apapun itu yang diterimanya, akan dihadapi dengan lapang dada yang tipis-tipis mirip kepasrahan, hanya menerima dan berdoa, tanpa usaha yang maksimal selain itu. Bahkan ia tidak membela dirinya sendiri.

 

Misalnya dia disakiti oleh suaminya, atau pacarnya, maka si perempuan ini, saking baiknya akan memaklumi hal-hal itu dan berdoa agar kedepannya diberi kekuatan hati. Namun usaha dia untuk mempertahankan dirinya sendiri sebagai individu itu tidak terlhat. Yang ada hanyalah seorang perempuan yang walaupun ia berperan sebagai pemeran utama, namun tetap saja pada kenyataannya ia adalah pihak yang tidak bisa menentukan pilihannya sendiri.

Kemudian jika tidak terlalu jahat, dan terlalu baik, maka si perempuan akan jadi sosok yang terlalu bodoh. Mau dikibulin, gampang dipermainkan, ditipu, dan diulangi terus-menerus oleh orang-orang di sekitarnya. Penggambaran perempuan yang bodoh dan blo’on juga seringnya direpresentasikan dengan cara yang tidak seharusnya, sampai membawa mengenai bias-bias SARA yang kemudian semakin memunculkan stereotype dan pandangan negatif di tengah masyarakat kepada perempuan.

 

 

Unfair stereotype about certain tribe…

Ini poin selanjutnya yang membuat saya juga tidak betah nonton acara TV Indonesia ; Jakarta Centric. Apapun itu selalu tentang Jakarta. Seolah-olah di Indonesia tidak ada ratusan pulau dan tempat lain yang punya komoditas untuk diekspos selain Jakarta. Karena itu kemudian Jakarta diibaratkan sebagai sebuah tempat yang sangat wow, mewah, megah.

Salah satu bagian adegan yang saya gemaskan adalah ketika ada seorang perempuan dari desa yang kemudian datang ke kota, membawa bahasa dari daerahnya, let’s say ngapak, dan bahasa Sunda. Representasi bahasa daerah yang digunakan dalam sinetron atau FTV tersebut sejujurnya lebih ke arah mengolok-olok, bukannya menghargai.

Orang-orang yang datang ke Jakarta dengan masih menggunakan bahasa daerahnya dianggap sebagai bentuk keterbelakangan, belum maju dan belum mampu beradaptasi dan begitu identik dengan ndeso. Padahal tidak seperti itu juga. Malahan perbedaan bahasa tersebut tentunya harus diapresiasi, dan tidak mendapatkan tempat yang lebih rendah dari bahasa Indonesia.

 

 

Kenapa media harus mulai berbenah, dan kenapa audiens harus mulai gerah??

Media itu memiliki banyak fungsi yang serius, dalam pengembangan masyarakat dan suatu bangsa. Media menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah, menjadi pusat informasi, menjadi tempat pertukaran nilai-nilai sosial dan edukasi. Karena itulah sebenarnya kondisi media di suatu nengara mencerminkan seperti apa keadaan masyarakatnya.

 

Karena itulah kemudian media memiliki peran vital dalam membentuk sebuah perspektif dalam suatu masyarakat. Media bisa menjadi pencipta dari tren, hobi dan isu-isu terkini. Karena memang media bisa menentukan mana yang mau ditampilkan dan mana yang mau disembunyikan.

Lantas kenapa sih media itu perlu berbenah??

Tak lain dan tak bukan, karena memang media itu punya tanggungjawab sosial kepada masayarkat. Janganlah membodoh-bodohi masyarakat dan bertindak semaunya, mengabaikan unsur-unsur edukasi yang seharusnya menjadi poin utama juga. Selama ini media selalu melegalkan berbagai macam unsur label negatif di tengah masyarakat, mulai dari bahasa Ngapak yang jadi banyolan, orang-orang etnis Tionghoa dengan segala kepelitannya, dan orang timur dengan anggapan bahwa mereka adalah orang-orang terbelakang dan bodoh. Semuanya kembali selalu pada rating,  demi agar banyak yang menonton, semata-mata agar heboh dan sensasional. Padahal generasi bangsa sedang dicucuki otaknya oleh hal-hal yang sesungguhnya tidak sehat.

Terlebih lagi mengenai penggambaran perempuan, media harus mulai memberikan ruang yang adil, dan juga sepadan kepada representasi dan perwujudan perempuan di dalamnya. Apalagi melalui tayangan sinetron dan FTV yang luar biasa rutinnya setiap pagi, maka seharusnya tidak susah bagi media untuk mempu mengubah bentuk perempuan menajdi sosok yang lebih baik.

Bukan hanya wujudnya sebagai istri yang kelewat sabar atau pelakor yang jahatnya keterlaluan. Bukan hanya masalah jualan tubuh dan kecantikan, bukan pula hanya sesosok perempuan lugu dan polos yang kemudian diselamatkan kehidupannya karena bertemu laki-laki penuh kekayaan.

 

Bukan yang seperti itu, yang seharusnya dimediasi oleh acara-acara TV di Indonesia ini. Melainkan  harusnya memberi ruang pada sosok perempuan yang cerdas, ibu rumah tangga yang kerjaannya bukan gosip doang, anak sekolahan yang aktifitasnya tidak hanya main motor-motoran. Berikan perempuan kesempatan secara adil untuk direpresentasikan dengan melepas seluruh atribut stereotype dan diskriminasi.

Media haruslah berkembang, jangan melulu mengambil sisi sebagai pembodoh bangsa saja, dan sebagai pelopor dalam pelegalan label-label negatif yang hidup di masyarakat. Karena sesungguhnya beban yang dimiliki oleh media itu adalah memanggul kultur, budaya, dan juga kualitas pendidikan dan wawasan dari sebuah bangsa.

Dan kedepannya, kita sebagai audiens pun harus mulai kritis, lebih jeli memilih  dan sadar akan hal-hal negatif dalam konten yang tiap hari dikonsumsi oleh diri sendiri dan keluarga. Sebab peran diri sendiri merupakan hal inti dalam menyaring konten media.

Kalau masih terus ogah-ogahan untuk peduli, mau sampai kapan mau dibodohi?