My Sister Can’t Cook and Her Family is Still Okay.

waktu baca 7 menit

GIRLISME.COM – Pikiran tentang ini semakin sering saya dapatkan ketika memasuki usia 20-an. Tentang bagaimana layaknya menjadi seorang perempuan yang baik. Apa yang harus saya punya untuk bisa menjadi istri yang budiman, dan bagaimana seharusnya saya membawa diri demi mendapatkan predikat ibu yang pantas nantinya.

Salah satu perkara yang paling sering disebutkan adalah mengenai kemampuan memasak.

“Eh, udah bisa masak nih. Udah cocok nih jadi istri.”

“Lhaa, belum bisa masak? Ckckck, nggak istri-able nih.”

“Eh, seriusan kamu nggak bia masak? Belum lulus nikah nih berarti.”

“Perempuan kok nggak bisa masak.”

Kalimat-kalimat seperti ini sering sekali saya dengar, dari mulut laki-laki dan perempuan.

 

Bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang bisa masak. Tentu saja di sini maksudnya bisa masak adalah…makanannya enak. Bukan sekedar goreng lalu gosong atau masak nasi malah jadi bubur.

 

Wacana ini tentu diikuti oleh negasi bahwa perempuan yang tidak bisa masak, atau belum bisa masak enak belum bisa menikah. Singkatnya, kalau saya belum bisa masak, maka saya bisa jadi istri yang buruk. Pikiran ini kemudian menghantui saya, dan membuat saya berpikir bahwa nantinya ketika saya menikah, kepuasan suami saya sebagian besar terletak pada seberapa enak lauk yang ada di meja, dan seberapa pulen nasi yang ada di rice cooker.

Saya juga takut bahwa ketika saya tidak becus memasak maka nantinya tidak akan ada laki-laki yang menganggap saya cukup pantas untuk diperistri. Dan malah tidak cukup baik ajdi menantu. It seriously decreased my self confident.

Pikiran ini diperparah dengan kenyataan di lingkungan saya kebanyakan yang memasak itu adalah perempuan. Dapur itu surganya perempuan. Laki-laki hanya tinggal tunggu di meja. Dari mamak-mamak sampai mbah-mbah, yang memasak adalah perempuan.

Bukan hanya itu, sejak dulu iklan dan tayangan televisi yang saya lihat tidak pernah memperlihatkan perempuan tanpa skill memasak. Iklan minuman, ya perempuan. Iklan bikin gorengan ya perempuan. Bikin kue lebaran, perempuan lagi. Sampai bikin tempe goreng juga perempuan. Laki-laki hanya tinggal makan, atau kalaupun ada sumbangsihnya, palingan hanya melongo ke dapur dan memberi semangat—yang sama sekali tidak membantu proses masaknya jadi lebih cepat dan efisien.

Kemudian nantinya ketika sudah mencicipi, si laki-laki ini akan semakin sayang pada istrinya, karena masakannya enak. Belum lagi visual bapak dan ibu mertua yang bangga terhadap menantunya karena masakannya enak. Duh…apa kabar yang tidak bisa masak?

 

Melihat wacana-wacana di media, saya pikirannya semakin menganggap bahwa perempuan ini salah satu kodrat alaminya selain menstruasi dan melahirkan adalah…memasak.

 

Menjadikan ada kebanggaan dalam diri perempuan yang bisa memasak, dan ada kehampaan dalam diri perempuan yang belum bisa memasak. Karena apa? Yaa, takut dianggap tidak becus….menjadi perempuan.

Kamu belum cukup perempuan kalau kamu tidak bisa memasak. Begitu kira-kira.

Sampai kemudian kakak perempuan saya menikah, dan dia hingga saat ini ternyata tidak bisa masak.

 

Dia paling banter bisa masak nasi dan telur orak arik dikasiin sambal. Ketika datang ke rumahnya, dan dia hanya masak itu saja, saya penasaran dan bertanya, “Mbak belum bisa masak ya?” Dia dengan enteng menjawab bahwa iya dia masih belum bisa masak. Dia juga bercerita bahwa pernah bikin semur gagal dan bikin bolu yang adonannya keras mirip bola kasti.

Setelah itu saya bertanya lagi, bagaimana respon suaminya?

Fyi, kakak saya sekarang berusia 33 tahun dan sudah memiliki 3 anak. Dia sudah menikah selama 8 tahun, dan sejak awal menikah sampai detik ini tidak ada prestasi memasak yang membanggakan dari dia. Suaminya baik-baik saja. Malah menjadikan hal itu sebagai guyonan. Suaminya juga tidak pernah keberatan untuk berada di dapur, dan malah masakannya jauh lebih enak dari dirinya. Sejak awal suaminya tidak pernah menuntutnya untuk bisa memasak. Karena itu sekeluarga tidak menganggap bahwa memasak ini adalah kewajiban perempuan.

 

Kalau laper dan nggak sempat masak ya tinggal beli lah. Repot amat. Kata dia, dan suaminya.

 

Kakak saya bekerja sebagai seorang guru, yang full mengajar dari pagi sampai siang. Malahan bisa lembur sampai menjelang malam. Ketika situasinya seperti itu suaminya tidak pernah keberatan untuk mengambil alih tugas di dapur, dan mengurusi pangan sekeluarga. Suaminya bekerja sebagai seorang wartawan, yang memiliki jam kerja lebih fleksible, karena itulah lebih bisa berada di rumah.

Hal ini yang kemudian merubah cara pandang saya tentang memasak dan perempuan. Bahwa pekerjaan memasak ini sifatnya sesungguhnya netral. Ia bisa dan boleh dikerjakan baik oleh laki-laki dan perempuan. Seungguhnya tidak ada ketentuan yang mengatakan bahwa perempuan itu harus masak dan laki-laki tidak masak.

 

Maka berlaku juga pemikiran bahwa perempuan akan tetap jadi perempuan yang baik, istri yang pas dan ibu yang cocok, walaupun tidak ahli di dapur.

 

Wacana media ataupun lingkungan mengenai memasak ini sesungguhnya dipengaruhi oleh pemikiran patriarchy, mengenai perempuan yang memiliki tugas untuk melayani dan memuaskan pasangannya. Juga wacana bahwa yang bekerja di luar rumah adalah tugas laki-laki dan yang bekerja domestik di dalam rumah adalah perempuan. Oleh sebab itu ketika masakan perempuan kurang enak, ada penilaian bahwa dia kurang bisa melayani pasangannya tersebut. Dia dianggap tidak becus, karena tidak menguasai memasak, yang notabene merupakan salah satu ranah domestik atau pekerjaan yang harusnya jadi inner seorang perempuan.

Karena itu juga umumnya di masyarakat kita pemikiran mengenai perempuan harus bisa di dapur dan laki-laki tidak harus bisa sampai sekarang masih terus ada. Padahal kembali lagi memasak, menyiapkan makanan dan pangan sesungguhnya merupakan pekerjaan yang netral. Bisa dan boleh dikerjakan oleh istri maupun suami. Oleh ibu maupun bapak.

Namun sekarang saya mengetahui bahwa bisa memasak ataupun tidak ya tidak masalah.

 

Itu adalah hak perempuan, sama halnya dengan laki-laki. Tidak memasak bukan berarti tidak melayani dan tidak becus sebagai perempuan. Apalagi kalau dianggap belum lulus jadi istri dan tidak cocok jadi ibu, kriteria itu hanya untuk orang-orang yang pikirannya sempit.

 

Karena makna menjadi seorang istri dan ibu jauh lebih luas jika harus dipasungkan pada gosongnya panci dan wajan.

 

Kakak perempuan saya membantu suaminya dalam menopang kebutuhan keluarga, menjalankan perannya sebagai ibu atas 3 orang anak, memastikan bahwa mereka mendapat kasih sayang yang cukup walaupun memiliki orangtua yang sibuk bekerja. Dan menurut saya hal ini tidak bisa dikalahkan oleh kenyataan bahwa dia tidak memasak. Karena ia tetaplah berusaha sepenuh tenaganya untuk memastikan bahwa keluarganya bukan hanya mendapat cukup makan tapi juga cukup cinta dan perhatian.

 

Dengan pemikiran ini bukan berarti saya tidak mau masak, atau bahkan jadi malas-masalan masak…bukan.

Saya juga tidak menyinyiri perempuan yang jago masak dan mau belajar masak. Bukan sama sekali.

 

Saya sangat menghargai usaha setiap perempuan untuk mau memasak dan membahagiakan keluarganya melalui makanan yang dibuat. Juga mengenai perasaan senang dan hangat tiap kali melihat anak dan suami makan sangat lahap dan menyukai masakan yang dibuat.

 

Hanya saja saya memandang memasak bukan lagi sebagai sebuah kewajiban yang mengikat, bikin tertekan dan takut-takut sendiri.

 

Saya lebih melihatnya sebagai kegiatan umum yang akan saya lakukan jika saya mau dan berkenan, layaknya menulis cerita pendek ataupun nyanyi di kamar mandi. Lebih santai, lebih bebas, dan tidak lagi terkekang pada pikiran bahwa kalau saya tidak bisa masak, maka saya bisa jadi menderita dalam keluarga.

Karena buktinya keluarga kakak perempuan saya, baik itu suami maupun anak-anaknya tidak kekurangan satu apapun, baik itu dalam masalah keutuhan, kebahagiaan dan kerekatan keluarga. Walaupun ia tidak bisa memasak, kakak saya tetap mampu menjadi seorang ibu dan istri yang cukup.

 

Saya harap ini juga bisa memberikan pengertian dan pandangan baru kepada perempuan dan laki-laki di luar sana, mengenai perempuan dan memasak. Mengenai rumah tangga, keluarga, dan siapa saja yang mengisi dapur-dapur di dalamnya 🙂