GIRLISME.COM – Menurut UNICEF, terlepas dari apa pun bentuk yang dipraktikkan, sunat perempuan adalah pelanggaran terhadap hak anak.

“Mutilasi kelamin perempuan berbeda di berbagai wilayah dan budaya, dan beberapa bentuk melibatkan risiko yang membahayakan hidup,” kata Deputi Direktur Eksekutif Unicef, Geeta Rao Gupta. (BBC Indonesia)

Kamu pastinya pernah dengar mengenai khitan atau sunatan. Biasanya hal ini dilakukan pada anak laki-laki, yang memiliki pemaknaan pembersihan secara medis, juga memilii arti pembersihan secara ajaran agama Islam. Trus gimana ya ketika khitanan ini kemudian disematkan pada perempuan?

Apakah masih perlu?

Atau wajib adanya?

Atau mungkin juga kalau ditinggalkan tidak apa-apa?

Sunat perempuan dikecam!

Isu tentang khitanan pada perempuan ini pada awalnya memang dianggap sama seperti pada laki-laki. Yaitu merupakan hal yang wajib dilakukan, bersifat tradisi, dan juga sebagai salah satu upaya menjalankan perintah agama. Namun kemudian isu ini menguat ke permukaan setelah banyak pihak menyuarakan ketidaksetujuannya pada praktik ini.

Asal diketahui saja praktik sunat perempuan ini bukan hanya ada di Indonesia. Data UNICEF menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki presentase terbesar terhadap sunat perempuan pada kelompok umur 14 tahun antara lain adalah Gambia yaitu 56 persen, Mauritania 54 persen dan Indonesia. Di Indonesia sekarang ini sekitar separuh anak perempuan berusia 11 tahun bahkan lebih muda sudah menjalani sunat. Sementara negara-negara dengan prevalensi tertinggi di kalangan anak perempuan dan wanita berusia 15 hingga 49 tahun adalah Somalia dengan 98 persen, Guinea 97 persen dan Djibouti 93 persen.

UNICEF juga menambahkan bahwa 3 negara dnegan tingkat sinat perempuan tertinggi adalah Afrika, Ethiopia, dan juga Indonesia.(BBC Indonesia)

Pelarangan adanya sunat perempuan yang dilakukan oleh UNICEF ini memang bukannya tanpa alasan. Praktik yang dilakukan oleh beberapa negara di atas menunjukkan adanya tindak kekerasan dengan cara pemotongan klitoris pada alat vital anak-anak perempuan.

 

Hal ini sangat beresiko bagi kesehatan jika dilakukan. Dan sesungguhnya dikatakan bahwa khitan atau sunat untuk perempuan ini tidak berfungsi sama seperti laki-laki.

 

Ada 4 temuan oleh badan kesehatan dunia (WHO) dalam hal praktik khitan perempuan yang membuatnya langsung dikecam  (Magdalene.co) :

  1. Pengangkatan sebagian atau seluruh bagian klitoris.
  2. Pengangkatan sebagian atau keseluruhan klitoris beserta labia minora atau kulit tipis di sekeliling vagina.
  3. Penjahitan labia menjadi satu agar lubang vagina menjadi kecil dengan atau tidak dengan mengangkat bagian klitoris.
  4. Semua tindakan yang dilakukan pada bagian luar alat kelamin perempuan (vulva).

Hal ini dikecam kemudian karena memang akan memberikan dampak buruk yang lebih besar kepada para perempuan, mulai dari rasa sakit, penurunan gairah seksual hingga infeksi pada alat vital yang bisa berbuntut kematian.

Bagaimana Praktiknya di Indonesia?

Tradisi khitan di Indonesia ini dirasa masuk melalui para pedagang yang berasal dari Afrika. Yang kemudian melewati Yaman ke wilayah Sulawesi kemudian ke Jawa menetap dan menikahi orang-orang nusantara kala itu. Hal ini kemudian semakin langgeng karena adanya perintah khitan yang sama dari ajaran agama. Jadilah kemudian praktik khitan ini semakin berjalan, dan dilakukan juga kepada perempuan.

Menurut data UNICEF 2013 data khitan perempuan Indonesia tersebar di berbagai daerah, Gorontalo ada di posisi teratas mengantongi 83.7 persen, menyusul kemudian Bangka Belitung 83.2 persen, lalu Banten 79.2 persen, Kalimantan Selatan 78.7 persen, selanjutnya Riau 74.4 persen, kemudian Papua Barat 17.8 persen, disusul DI Yogyakarta 10.3 persen, Bali 6 persen, Papua 3.6 persen, dan NTT 2.7 persen (IDNtimes).

Pada tahun 2006 lalu sebenarnya pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan terkait pelarangan khitan perempuan. Pengeluaran peraturan pelarangan tersebut adalah karena memang dari sisi medis khitan pada perempuan tidak harus dilakukan. Bahkan hal ini tidak pernah ada dalam hal pembelajaran medis. Namun diprotes oleh MUI dengan alasan bahwa khitan pada perempuan merupakan praktk yang sifatnya dianjurkan, bukan wajib…namun boleh dilakukan. Juga sebagai bagian dari syiar Islam (Fatwa MUI No 9A tahun 2008). Karena itu tidak sepantasnya jika khitan pada perempuan itu dilarang.

Lalu kemudian digantikan dengan peraturan tahun 2010, tentang bagaimana tatacara mengkhitan bagi perempuan. Pengeluaran peraturan ini kemudian menerima reaksi keras dari para aktivis perempuan. Menurut mereka alih-alih mengedukasi masyarakat tentang bahaya dan tidak pentingnya khitan perempuan, pemerintah kok malah melanggengkan aksi tersebut dengan sengaja membuat undang-undangnya?

Di Indonesia sendiri praktik khitan dilakukan mulai dari simbolis, hingga melukai klitoris. Asumsi paling dasar yang banyak berkembang adalah perempuan perlu dikhitan agar tidak genit, tidak gatel, dan juga bisa lebih sopan.

Hal yang dipercayai oleh masyarakat pada umumnya adalah bahwa perempuan yang tidak dikhitan akan memiliki kadar nafsu seksual yang bisa-bisa berlebihan.

Asumsi lainnya adaah sebagai penyucian dan pembersihan diri bagi perempuan, sehingga bisa menjadi perempuan yang lebih baik kepedannya, karena sudah terlepas dari hal-hal kotor.

Malahan tradisi ini dilakukan salah satu alasannya adalah agar perempuan siap dinikahi dan kelak bisa melayani laki-laki dengan baik ketika sudah menikah.

 

Alasan yang sebenarnya tidak ada pembuktiannya sama sekali secara medis, dan sebagai tradisi yang malah sangat merugikan perempuan.

Bagaimana dari sisi medisnya??

Jika laki-laki melalukan khitan itu adalah untuk tujuan mebersihkan diri secara medis, agar kedepannya tidak menumpuk kuman pada bagian penisnya dan menyebabkan penyakit, maka pada anak perempuan sesungguhnya tidak perlu dilakukan, karena memang memiliki alat reproduksi yang berbeda.

 

Oleh karena itu dari segi medis malahan khitan pada perempuan ini tidak perlu dilakukan, karena tidak ada faedahnya, dan belum ada penelitian yang membuktikan adanya bahaya karena tidak mengkhitan anak perempuan.

 

Sunat perempuan, tidak memberikan manfaat apapun karena tujuan dari sunat perempuan hanya untuk mengekang seksualitas perempuan. Praktik medikalisasi sunat perempuan ini dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. “Tujuan dilakukannya sunat perempuan itu kan salah satunya untuk mengekang seksualitas perempuan. Secara medis sebenarnya tidak ada keuntungan secara medis ketika dilakukan sunat perempuan beda ketika itu dilakukan kepada laki-laki. Sunat perempuan tidak ada dalam kurikulum bidan atau dokter. Mereka selama ini melakukannya tidak melalui pendidikan,” ujar Peneliti Kalyanamitra Djoko Sulistyo kepada VOA Indonesia.

Khitan malahan mendatangkan penyakit…

Secara medis tidak ada hal positif dari pengadaan khitan perempuan. Bahkan sampai saat ini tradisi khitan bisa dikatakan tidak membawa perubahan yang baik bagi si permpuan, alih-alih bisa mendatangkan penyakit karenanya.

Mulai dari rasa sakit dan nyeri di area genital, pendarahan, demam, tetanus, masalah buang air kecil, syok, hingga kematian.

Untuk masalah jangka panjang meliputi masalah menstruasi, rasa sakit ketika berhubungan intim, keloid, komplikasi ketika melahirkan. Bahkan, sunat pada perempuan juga bisa menimbulkan trauma karena area genital diraba dan ‘disakiti’ oleh orang asing. (VOA Indonesia)

Apakah sunat perempuan masih HARUS dipaksakan??

Dari penjelasan di atas sudah ditekankan bahwa di Indonesia, yang melakukan khitan perempuan itu biasanya pada bidan, dukun beranak, atau perawat, yang SAMA SEKALI TIDAK PERNAH mendapatkan pengajaran atau SERTIFIKASI khitan perempuan. Karena sekali lagi, tidak ada tuntunan mengenai hal itu dari sisi medisnya.

Walaupun kemudian dikatakan bahwa tradisi khitan di Indonesia merupakan sesuatu yang berbeda dari apa yang dilarang oleh WHO, namun tetap saja cara masyarakat kita mendefinisikan sunat perempuan itu adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Perempuan khitan tujuannya adalah untuk mengekang nafsu. Astaga….setiap orang itu punya nafsu!

Bahkan kenapa memangnya kalau perempuan memiliki nafsu? Bukankah itu hal yang wajar? Mengapa lantas harus didiskriminasikan dari laki-laki??Alasan yang sebenarnya kurang bisa diterima, bahwa perempuan harus mengorbankan dirinya karena tuntutan dari budaya, yang bahkan mengguunakan cara menyakiti area vital perempuan merupakan pilihan yang keterlaluan.

Karena kalau bicara nafsu, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengendalikannya, daripada melakukan pemotongan atau penghilangan terhadap organ vital pada perempuan.

“Laki-laki juga khitan kok…laki-laki juga sakit…”

Ya itu karena secara medis laki-laki memang harus khitan. Ada data yang membuktikan bahwa kesehatan laki-laki dipengaruhi oleh itu, karenanya wajib dilakukan. Nah, kalau perempuan? Dari data medis saja bahkan yang muncul adalah kemungkinan penyakit yang lebih buruk.

Oleh karena itu pandangan mengenai khitan perempuan kali ini harus diperbaiki dan dikembangkan lagi. Setelah tahu bahwa khitan bagi perempuan itu sesungguhnya bisa mendatangkan keburukan bagi si perempuannya, apalagi jika praktiknya tidak benar-benar baik, maka akan berimbas pada psikis si perempuan tersebut.

Memaksakan khitan perempuan bukanlah hal yang tepat. Walaupun kemudian hal itu dilakukan secara simbolis, dengan air kunyit, betadin atau mungkin hanya digoreskan saja tanpa melukai vagina atau klitoris, namun  tetap saja, sebenarnya pelanggengan tradisi ini tidak mesti harus dipaksakan kepada perempuan. Apalagi jika definisinya masih sangat mendeskriminasi.