Yang Bercadar Belum Tentu Radikal, Yang Nggak Berjilbab Juga Belum Tentu Binal. Setuju?? Harus!

Seorang perempuan bercadar memelihara mebantu memberi makan anjing. Banyak cercaan ia terima termasuk “kafir” karena memelihara anjing-anjing ini namun tak digubrisnya. Ada lebih dari sembilan ekor anjing serta puluhan ekor kucing liar lain yang dipelihara keluarga ini.

“dalam tradisi fikih Islam, yang najis ketika anjing menjilat tubuh kita, saat salat tak dibasuh, tapi memelihara, memberi makan dan saling memelihara, tak ada ayat yang melarang karena justru ayat yang paling kuat dalam Islam, ketika memelihara alam semesta dan alam semesta akan memelihara kita.” (Sumber BBC Indonesia)

 


 

“Dia (Hana) ramah sekali, tidak pelit memberi penjelasan dan tips, bahkan meski kita belum bertanya, pintar menghadapi anak-anak. Anak saya sama sekali tidak takut meski alat-alatnya sama dengan dokter di rumah sakit,” tutur Lidya.

Kendati berbeda keyakinan, Lidya tak menemukan diskriminasi dalam pelayanan Hana. Saat pasien banyak, semua dilayani sesuai urutan datang meski banyak di antara mereka berpakaian Muslim bahkan berniqab seperti Hana. Kecuali jika ada yang dalam kondisi parah dan butuh pertolongan segera, dokter Hana dan perawat akan meminta pengertian pasien lain.

“Saya ingin menunjukkan pada semua orang bahwa Islam itu baik, Islam itu damai, Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam. Memakai cadar bukan radikal, bukan teroris.” (Sumber www.benarnews.org)


 

Kita tumbuh di negara yang pada dasarnya mengekang kebebasan perempuan. Mulai dari kebebasan bersekolah, bersuara, menentukan jenjang karir, sampai ke hal-hal detail tentang bagaimana perempuan harusnya berperilaku, umur berapa harus menikah, sampai gimana harusnya berdandan dan pakai baju. Bagaimana menjadi perempuan itu diatur oleh tradisi, ditambah dengan norma-norma agama, menjadikan PR perempuan semakin banyak.

Menjadi perempuan baik itu banyak sekali syaratnya. Mulai dari cara bicara, nada suara, cara duduk, cara jalan, cara pakai baju, cara interaksi dengan sesama perempuan, apalagi interaksi dengan laki-laki. Banyak tuntutannya, demi sebuah label “Perempuan yang baik.”

Dalam masalah berpakaianpun kemudian perempuan nggak bisa asal pakai, karena salah sedikit saja, nanti buntutnya bakalan panjang, mulai dari penyebab pelecehan seksual, dijadikan dalil utama dalam penerkosaan sampai-sampai bahasan utama buat surga dan neraka.

 

Tulisan kali ini nggak jauh-jauh dari pengalaman pribadi penulis, tentang bagaimana stigma negatif ternyata sangat ditentukan dari bagaimana cara perempuan berpakaian. Bahkan stigma ini juga datang dari sama-sama kaum perempuan yang satu ke lainnya.

Selama ini apa yang penulis rasakan adalah ada yang enggak adil, dari bagaimana perempuan dipandang sebelah mata hanya dari luarnya aja.

 

Misalnya seperti langsung menjatuhkan stigma neraka, nakal, binal, pemberontak, kepada muslimah-muslimah yang memutuskan untuk enggak menggunakan atribut keagamaan, berupa jilbab. Padahal belum tentu seperti itu.

 

Banyak mereka yang enggak berjilbab tapi punya tindak tanduk yang baik, sopan, bagian dari yayasan dan LSM serta aktifis yang mengabdikan hidupnya buat kepentingan orang lain. Walaupun dia membuka dan memutuskan buat  enggak menutup helaian rambutnya, tapi dia tetap menjalankan kewajibannya sebagai muslim. Bahkan tidak mengurangi kebaikan hatinya untuk membantu orang lain. Menjalankan shalat tepat waktu, puasa penuh setiap bulan Ramadhan, mengeluarkan sebagian rezekinya untuk mereka yang membutuhkan.

 

Dalam pengalaman penulis ini, sungguhlah ingin penulis katakan bahwa mereka tidak pernah ‘kurang Islam’, hanya karena mereka tidak menggunakan jilbab.

 

Karena itu kemudian ketika banyak orang di luar sana yang menyamaratakan mereka, sebagai orang-orang yang membangkang dan lekat dengan stigma negatif, penulis rasa hal ini sudah harus diubah dan diakhiri. KeIsmlaman itu enggak pernah bisa disamarakatakan, hanya dari sebuah penampilan.

 

Dan haruslah diingat bawa menghisab kadar keimanan orang lain itu memang bukanlah tugas kita sebagai manusia. Bahkan mengingatkanpun ada batasannya…tanpa melangkahi hak personalnya dalam memutuskan bagaimana hubungannya dengan Tuhan.

 

Belakangan ini santer sekali rasanya kita dengar mengenai perempuan bercadar yang memaksa seorang ojek online untuk menikahinya, padahal mereka baru saja mengenal satu sama lain, lewat sahabat si ojol tersebut. Tak hanya sampai di sana, ternyata ada lagi berita mengenai dua orang perepuan bercadar yang terkena musibah, terjatuh dari sepeda motor namun menolak pertolongan yang bukan mahramnya, dan secara terang-terangan mengatakan bahwa lelaki yang diluar mahrammnya haram hukumnya untuk menolong.

Dari ini kemudian ada lagi isu pelarangan masuk kampus bagi mereka yang pakai cadar, karena alasan bahwa mereka ditakutkan membawa paham radikal. Fenomena yang satu, numpuk lagi dengan fenomena yang lainnya, menjadikan para muslimah bercadar ini sepertinya sama saja semuanya ; radikal, kaku, nggak mau bergaul dan membaur. Padahal, tentu aja engagk selalu seperti itu.

Penulis punya teman-teman yang bercadar, menutup wajah mereka tapi bukan juga berarti mereka enggak lagi mau bersosialisasi dengan orang lain. Teman penulis itu tetap mau ikut kegiatan kampus, tetap mau ngobrol dengan laki-laki, bahkan bantu-bantu juga buat menyiapkan keperluan yang pastinya mengharuskan dia buat berhubungan dengan banyak jenis orang. Bahkan dari berita yang penulis letakkan di bagian atas, kita juga sudah sama-sama tau bahwa enggak semua yang bercadar lho, seperti itu.

Dan rasanya enggak adil ketika semua hal negatif itu dipukul rata.

 

Apalagi bagi mereka yang hanya ikut-ikutan, padahal belum pernah sebelunya diirugikan secara langsung oleh muslimah yangt bercadar, tapi hanya tau dari timeline sosial media.

 

Seharusnya kita bisa memberi kesempatan yang imbang, bahwa sesungguhnya pakaian itu bukanlah jalan utama yang bisa menunjukkan bagaimana sisi seseorang secara keseluruhan.

Karena terlepas dari pakaian yang melekat di badan seorang muslimah, bukanlah ranah kita sebagai sesama manusia buat menuduhkan hal-hal negatif kepadanya tanpa mengetahui ia secara penuh. Bagaimana hidupnya, apa yang sudah ia lewati, apa yang ada di pikirannya, bagaimana pengalaman-pengalamannya.  Terlebih lagi pengalaman beragama bukanlah sesepele itu buat dikomentari dan diberikan legitimasi yang sama. Tiap orang berbeda, dan enggak akan pernah memiliki pengalaman spiritual yang sama.

Pandangan yang adil harus mulai diberikan kepada perempuan, terlepas dari atribut agama yang melekat pada tubuhnya. Karena satu hal itu aja sungguh belum cukup untuk membuat kita tau, bagaimana dia yang sebenarnya, apalagi hanya dari postingan Facebook, retweet di Twitter, dan percakapan di Instagram.

 

Tengoklah kiri, tengoklah kanan, berikan waktu bagi diri kita buat melihat dengan lebih luas, mengenal lebih jauh, sehingga kita bisa memahami apa rasanya hidup di dalam sebuah perbedaan. Bahwa nilai kebaikan itu banyak sekali jenisnya, walaupun enggak selalu sama dengan apa yang kita lakukan. Nilai kebenaran yang personal, tetaplah enggak bisa dipaksakan secara universal.

 

Sebagian, bukanlah seluruhnya. Cadar belum tentu radikal. Tanpa jilbab belum tentu binal. Yang seharusnya kita lakukan adalah melepaskan stigma dan belajar untuk lebih saling mengenal.

Mengapa?

Sebab tak kenal…maka tak akan sayang 🙂


Posted

in

by