Sengketa Cadar dan Pemutusan Hak Belajar : Bahasan Pelarangan Wajah Tertutup Dua Sisi TANPA Diskriminasi.

GIRLISME.COM – Pada tanggal 5 Maret lalu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengeluarkan sebuah peraturan pelarangan terhadap penggunaan cadar bagi mahasiswinya. Peraturan ini kemudian ramai diperbincangkan,  dan mengundang pertanyaan juga bagi beberapa kampus lainnya di Yogyakarta, seperti Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada.

 

Cadar dan pakaian tertutup…

Pakaian tertutup sesungguhnya bukanlah merupakan monopoli dari bangsa Arab. Seperti yang dituliskan dalam buku Gaya Hidup Wanita Islam oleh Agus Efendy dan Alwiyah Abdurrahman (1990 : 34) yang merupakan versi bahasa Indonesia dari On the Islamic Hijab milik Murthada Muthahari, yaitu ulama besar kontemporer Iran, bahwa tradisi pakaian tertutup bukanlah milik orang-orang Arab, seperti yang dikira oleh kebanyakan dari kita. Masyarakat dengan pakaian tertutup bahkan jauh ada sebelum Islam datang, bahkan di negara India dan Iran kala itu lebih keras tuntutannya daripada di Islam.

Dalam bukunya, Jilbab (2004), M. Quraish Shihab juga menerangkan bahwa tradisi pakaian tertutup ini bersal dari orang-orang Persia, yang kala itu mengikuti agama Zardasyt. Agama tersebut menilai bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak suci. Oleh karena itu mereka harus menutupi tubuh dan wajah mereka, agar napas mereka tidak mencemari api suci pemujaan ketika mereka melakukan sesemabahan. Namun alasan Islam dalam penggunaan pakaian tertutup dan cadar tentu saja bukan ini, karena sesembahan api seperti itu tidak masuk dalam ajaran Islam. Namun sampai di sini kita sama-sama paham bahwa sebelum Islam datangpun, tradisi pakaian tertutup dan cadar ini sudah memang ada.

Pada zaman jahiliah Arab dulu, justru para perempuannya berpakaian terbuka, bukan tertutup. Ketika kala itu cuaca sangat panas, memang mereka menggunakan penutup kepala, tapi hanya disampirkan begitu saja, dan cenderung terjulur ke bagian belakang tubuhnya, sehingga memperlihatkan perhiasan leher dan bagian dadanya. Pakaian ini yang kemduian juga mengundang tatapan kagum laki-laki. Dan para budak juga, ketika ditempatkan di pasar budak untuk dijual beli, justru pakaiannya terbuka, dan tujuannya memang dipertontonkan kepada orang yang lalu lalang, agar ada yang mau membeli. Pada zaman itu memang perempuan memiliki kelas dan harga yang jauh di bawah laki-laki. Terlebih lagi ketika itu tradisi membunuh dan mengubur anak perempuan, karena membawa sial dan dianggap tidak seberguna anak laki-lak semakin menjadikan posisi perempuan terpuruk.

Barulah setelah Islam datang, ada aturan mengenai pelarangan pembunuhan anak  (Q.S Al-Isra’/17:31]) dan aturan untuk berpakaian.

 

Pakaian dalam pandangan Islam…

Adapun uraian tentang pakaian dalam Al-Quran ini sudah sejak awal dijelaskan, dimulai dari Nabi Adam a.s dan Siti Hawa kala itu, yang dikisahkan melalui Q.S Al-A’raf (7/22), tentang mereka yang memakan buah terlarang karena bujukan syaitan :

“maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga.”

Ada sebagian pakar yang mengatakan bahwa mereka memang sudah menggunakan pakaian terlebih dahulu, barulah terbukan ketika memakan buah tersebut, terlihat aurat tubuhnya. Namun ada juga yang mengatakan bahwa aurat tersebut maksudnya terbukala pakaian ketakwaan mereka, hingga aib dan keburukan mereka terlihat karena telah menentang perintah Allah SWT.

Namun dari kedua hal tadi, kita bisa pahami bahwa dari sanalah kita sudah mulai mengenal usaha untuk menutupi diri kita, dan menyembunyikan keburukan kita. Entah itu yang sifatnya tubuh asli ataupun yang kekurangan dalam segi iman dan hati.

 

Dalam Islam sendiri kemudian dijelaskan juga fungsi-fungsi pakaian ini, misalnya seperti yang paling sering kita temukan, yaitu :

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Azhab /33: 59)

Di sini mengatakan bahwa pakaian adalah pembeda seseorang dan golongannya, karena saat itu hamba sahaya yang kerap digangu oleh laki-laki jahiliah, akan dinaikkan derajatnya melalui masuknya ia ke dalam Islam, dan disimbolkan dengan penggunaan kerudung, sebagai cara mengatakan ia salah satu dari bagian muslim dan dilindungi keberadaannya.

Selain sebagai pembeda, ternyata dalam Al-Quran juga mengisyaratkan beberapa fungsi pakaian yang lain, misalnya dalam

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S Al-A’raf /7:26)

Di sini pakaian selain berfungsi sebagai penutup aurat, agar menghindari diri dari godana nafsu, juga diperuntukkan unuk keindahan dan perhiasan.

Kemudian dalam surat An-Nahl ayat 81  diterangkan juga bahwa dungsi pakaian adalah sebagai pelindung.

“Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).”

Dari beberapa ayat di atas, kita sudha sama-sama paham bahwa memanglah di Islam masalah pakaian ini merupakan hal yang penting, sebab sampai dijelaskan mengenai fungsinya seperti yang telah diuraikan tadi.

 

Pakian tertutup dan cadar dalam Islam melalui Pandangan 4 Madzhab…

Dalam Islam sendiri penggunaan cadar atau penutup wajah ini tidak pernah disebutkan secara langsung atau eksplisit di dalam Al-Qur’an maupun di dalam hadist Rasulullah SAW. Karena itulah kemudian perkembangan cadar ini ditemukan melalui ijtihad, berupa tafsir dan syarah oleh para ulama.

Nah, kalau sudah memahami bahwa cadar ini datang pemahamannya bukan dari ushul dalil (Al-Qur’an, Hadist dan Ijma’), maka kita sama-sama memahami bahwa perkembangan cadar dan hukumnya ini bersifat Khilafiyah. Itulah sebabnya kemudian antara madzhab yang satu bisa berbeda dnegan madzhab yang lain. Atau antara ulama yang satu berbeda dengan ulama yang lain. Karena memang kembali lagi pada ijtihad atau usaha dalam memahami. Namun untuk konkrit hanya satu putusan mengenai cadar sendiri tidak pernah ada sampai saat ini.

Setelah kita sama-sama mengetahui ini, maka barulah kita beralih dengan melihat cadar dan pakaian tertutup dari pandangan 4 madzhab. Penjelasan 4 Madzhab ini saya ambil dari www.nu.or.id yang mengambil sumber dari kitab Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, yaitu salah satu Esiklopedia Fiqih terbesar yang ada sampai sekarang :

Menurut madzhab Hanafi, di zaman sekarang perempuan yang masih muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang membuka wajahnya di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu termasuk aurat, tetapi lebih untuk menghindari fitnah.

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ ( الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ ) إِلَى أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتُرَهُ فَتَنْتَقِبَ ، وَلَهَا أَنْ تَكْشِفَهُ فَلاَ تَنْتَقِبَ .قَال الْحَنَفِيَّةُ : تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ الشَّابَّةُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ الرِّجَال فِي زَمَانِنَا ، لاَ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ ، بَل لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ

Artinya, “Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya. Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk mengindari fitnah,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).

Berbeda dengan madzhab Hanafi, madzhab Maliki menyatakan bahwa makruh hukumnya wanita menutupi wajah baik ketika dalam shalat maupun di luar shalat karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-ghuluw).

Namun di satu sisi mereka berpendapat bahwa menutupi dua telapak tangan dan wajah bagi wanita muda yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah, ketika ia adalah wanita yang cantik atau dalam situasi banyak munculnya kebejatan atau kerusakan moral.

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ : يُكْرَهُ انْتِقَابُ الْمَرْأَةِ – أَيْ : تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا ،وَهُوَ مَا يَصِل لِلْعُيُونِ – سَوَاءٌ كَانَتْ فِي صَلاَةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا ، كَانَ الاِنْتِقَابُ فِيهَا لِأجْلِهَا أَوْ لاَ ، لِأَنَّهُ مِنَ الْغُلُوِّ.وَيُكْرَهُ النِّقَابُ لِلرِّجَال مِنْ بَابِ أَوْلَى إِلاَّ إِذَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ عَادَةِ قَوْمِهِ ، فَلاَ يُكْرَهُ إِذَا كَانَ فِي غَيْرِ صَلاَةٍ ، وَأَمَّا فِي الصَّلاَةِ فَيُكْرَهُ .وَقَالُوا : يَجِبُ عَلَى الشَّابَّةِ مَخْشِيَّةِ الْفِتْنَةِ سَتْرٌ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ إِذَا كَانَتْ جَمِيلَةً ، أَوْ يَكْثُرُ الْفَسَادُ.

Artinya, “Madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita memakai cadar—artinya menutupi wajahnya sampai mata—baik dalam shalat maupun di luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak karena hal itu termasuk berlebihan (ghuluw). Dan lebih utama cadar dimakruhkan bagi laki-laki kecuali ketika hal itu merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak dimakruhkan ketika di luar shalat. Adapun dalam shalat maka dimakruhkan. Mereka menyatakan bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan muda yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah wanita yang cantik, atau maraknya kebejatan moral,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).

Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful awla, menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.

وَاخْتَلَفَ الشَّافِعِيَّةُ فِي تَنَقُّبِ الْمَرْأَةِ ، فَرَأْيٌ يُوجِبُ النِّقَابَ عَلَيْهَا ، وَقِيل : هُوَ سُنَّةٌ ، وَقِيل : هُوَ خِلاَفُ الأَوْلَى

Artinya, “Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).

Bahkan dalam madzhab Syafi’i sendiri terjadi perbedaan dalam menyikapinya, semakin terlihat bawa inia dalah perihal khilafiyah.

Meskipun harus diakui bahwa pendapat yang mu’tamad dalam dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan dengan pandangan pihak lain (al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak tangan dan wajah. Konsekuensinya adalah ia wajib menutupi kedua telapak tangan dan memakai cadar untuk menutupi wajahnya.

أَنَّ لَهَا ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاِة وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ، وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْاَجَانِبِ إِلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ

“Bahwa perempuan memiliki tiga uarat. Pertama, aurat dalam shalat dan hal ini telah dijelaskan. Kedua aurat yang terkait dengan pandangan orang lain kepadanya, yaitu seluruh badannya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya menurut pendapat yang mu’tamad…” (Lihat Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani, Bairut-Dar al-Fikr, juz, II, h. 112)

Dari penjelasan keempat madzhab tadi bisa ditarik kesimpulan bahwa ada yang mewajibkan, namun bukan karena wajah adalah aurat, tapi karena untuk menghindari fitnah sesuai dengan konteks dimana Imam tersebut berada. Dan ada juga yang tidak mewajibkan. Karena itulah kembali lagi ditekankan bahwa mengenai cadar ini adalah sesuatu yang Khilafiyah, sifatnya tidak satu pendapat sebab berasal dari tafsir dan syarah, karena itu antara madzhab yang satu dan lainnya sah-sah saja berbeda, sesuai konteks mereka hidup dan berkembang saat itu.

Dan dalam poin ini kita juga memahami bahwa penggunaan cadar bukanlah sesuatu yang dilarang atau bahkan haram. Sebab diakui itu adalah sebuah bentuk dari kehati-hatian. Jadinya siapapun yang mau menggunakannya, silakan, dan tidak seharusnya mendapatkan cemoohan ataupun diskriminasi. Karena mengingat kembali bahwa itu adalah haknya secara pribadi.

 

Pelarangan cadar di universitas dan alasannya…

Jadi di sini saya akan bahas beberapa larangan dan lasan dari 4 Universitas di Yogayakarta, yaitu UIN Sunan Kalijaga, FAI UMY, UAD, dan juga UGM, beserta alasannya. Adapun pengambilan sumber datanya berasal dari sumber kedua, dengan penyesuaian dari beberapa media, untuk menyesuaikan benang merah dari framing berbeda dan menghidari ketimpangan informasi yang ada.

FAI  Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)

Pelarangan oleh Fakultas Agama Islam UMY ini ada secara internal fakultas, bukan secara universitas. Hal ini ditegaskan oleh Rektor UMY Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P. “Yang diatur di UMY adalah bagaimana berbusana muslim dan kami tidak menyinggung mengenai cadar, karena cadar adalah pilihan pribadi.” Adapun alasan pelarangan ini oleh FAI karena memang pernah terjadi perwakilan kuliah, atau mahasiswi tersebut ternyata diwakilkan dalam kuliahnya. Namun hal ini tidak bisa diketahui karena memang wajahnya tidak bisa dikenali oleh pihak dosen yang mengajar. Keputusan ini tentu saja menimbulkan demo dari mahasiswa dan mahasiswi, terlebih lagi dengan kenyataan bahwa bagi mereka yang bercadar tidak diizinkan untuk mengikuti kelas dan terancam tidak mendapat nilai. Untuk itulah kemduian dari FAI UMY mencoba mencari jalan tengah dengan usulan Dekan FAI UMY, Akif Khilmiyah, menawarkan kesepakatanwin-win solution yaitu membuka cadar di saat-saat tertentu dalam perkuliahan. “Kesepakatangini saja, dibuka saat presentasi kalau dosen meminta” .

Universitas Ahmad Dahlan (UAD)

Dr. H. Kasiyarno, M.Hum, Rektor UAD mengatakan bahwa penerapan pelarangan cadar di kampus ini sudah ditetapkan sejak semester lalu. Namun pelarangannya hanya ketika ada ujian ataupun kegiatan kampus yang membutuhkan pengenalan wajah. Sebab ini untuk menghindari kecurangan ataupun perjokian, yang mungkin saja terjadi. Namun selebihnya mahasiswi tidak dipermasalahkan dalam penggunaannya.

Universitas Gadjah Mada (UGM)

Kepala Bagian Humas UGM, Iva Ariani, memastikan tidak menerapkan larangan bercadar bagi mahasiswinya. Dalam hal ini dikatakan bahwa hal itu menjadi hak dari masing-masing orang, dalam menggunakan atau tidak. UGM lebih fokus dalam menumbuhkan nilai nasionalisme dan kebangsaan, untuk menghindari penyebaran paham radikal di lingkungan kampus.

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Sunan Kalijaga)

Masalah pelarangan di kampus UIN memang yang paling santer mendapatkan protes. Karena memang ialah yang peraturannya paling saklek dan berbeda dari kampus lainnya. Seperti yang dikatakan dalam Konferensi Pers pihak UIN, terkait dengan terbitanya larangan penggunaan cadar di kampus melalui surat resmi dengan nomor B-1031/Un.02/R/AK.00.3/02/2018, bahwa hal itu dipicu oleh adanya kejadian yang dianggap dapat menjelekkan dan merugikan pihak UIN sebagai lembaga pendidikan. Dari yang dikatakan oleh Rektor UIN, Prof Drs Yudian Wahyudi mengatakan bahwa terlebih dahulu ada aksi pemasangan bendera HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) di kawasan kampus. Dalam hal ini menurut Prof Drs Yudian Wahyudi tidak dibenarkan, karena sampai sekarang status HTI di Indonesia adalah ilegal, sejak resmi didubarkan melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. Dan sampai status pradilan HTI diketok palu menjadi legal, maka kampus UIN akan tetap pada pendiriannya, mengikuti peraturan yang sejalan dengan NKRI dengan basis Pancasila dan UUD 1945, yaitu dengan tidak menerima mahasiswi dan mahasiswa yang tergabung dalam ormas tersebut.

Berikut adalah isi surat pernyataan dari kampus untuk mahasiswi bercadar di lingkungan kampus UIN :

Surat Pernyataan Mematuhi Kode Etik 

Bismillahirrahmanirrahim 

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ……
NIM: ……
Semester: ……
Jurusan/Program Studi: ……
Fakultas: …… 

Dengan ini menyatakan:

1. Sanggup mematuhi peraturan yang berlaku di lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga 

2. Sanggup mematuhi Kode Etik Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga 

3. Sanggup tidak bergabung dengan organisasi apa pun yang menganut paham anti Pancasila dan Anti Negara Kesatuan Republik Indonesia 

Apabila saya melanggar Surat Pernyataan ini, saya siap dan sanggup menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan bersifat mengikat bagi diri saya sendiri demi kebaikan dan kemaslahatan semua pihak. 

Yogyakarta, (tanggal-bulan-tahun) 
Yang membuat pernyataan 

Nama (………)

Surat pernyataan mahasiswa ini diteken di atas materai Rp 6.000.

Tuntutan akan hal ini banyak disampaikan, antara lain oleh ketua MPR Zulkifli Hasan, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, dan tentu saja dari berbagai kalangan, yang mengecam aturan tersebut dan memintanya untuk ditarik. Dikatakan bahwa aturan dari UIN sama saja melanggar HAM, karena penggunaan cadar itu sendiri sesungguhnya area pribadi, yang tidak boleh mendapatkan diskriminasi. Dan generalisasi terhadap paham radikal di balik cadar tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan gegabah, karena benar-benar merugikan mahasiswi tersebut.

Menanggapi hal ini kemudian pihak UIN menjelaskan bahwa untuk mahasiswi yang menggunakan  cadar, yang jumlahnya 41 orang tersebut akan dibina dan diberikan konseling terlebih dahulu selama 7 kali. Sembari menghubungi keluarganya, juga memberikan pandangan dari berbagai sisi, mulai dari psikologi, pendidikan, fiqih, ekonomi, dan tentu saja berbangsa dan bernegara. Fokus dari pihak UIN adalah untuk dapat mengetahui motif sebenarnya dari penggunaan cadar tersbeut, apakah berasal dari keluarga, diri sendiri atau memang pengaruh dari golongan tertentu.

 

Girlisme, cadar dan larangan pemakaian….

Dari penjelasan yang sudah saya paparkan di atas, saya rasa kita sama-sama setuju bahwa cadar merupakan atribut yang sifatnya personal. Dan sesungguhnya tidak boleh ada larangan penggunaannya. Mengatakan bahwa cadar adalah sesuatu yang berlebihan, juga sebenarnya bukanlah komentar yang tepat. Karena kembali lagi, berlebihan itu ukurannya sangat personal. Jadinya janganlah menyamakan gelas ukur kita dengan orang lain. Hal ini bukan hanya berlaku sebagai sikap kepada instansi, namun juga bagi orang-orang di luar sana secara personal. Secara hukum Islam, tidak ada larangan memakai cadar. Penutupan wajah dalam hal ini dianggap sebagai sebuah kehati-hatian dalam keputusan beragama oleh seseorang.

Sama juga halnya ketika ada muslimah yang tidak pakai rok, melainkan celana. Atau muslimah yang menggunakan jilbab pendek dan lebar, atau juga bahkan memutuskan tidak menggunakan jilbab. Semuanya masuk dalam ranah keputusan personal, yang memang harus dihormati dan jangan sekali-kali didiskriminasi.

Pengataan cadar sebagai ninja, pelirikan dengan sebelah mata, dan memberikan pandangan yang general terhadap semua yang bercadar sebagai sesuatu yang radikal bukanlah langkah bijak.

Tidak semua orang yang bercadar lantas antek-antek teroris. Mengapa? Jawabannya sama ketika kita mengatakan bahwa tidak semua orang yang tidak berjilbab itu bejat.

Jadi janganlah secepat itu mengatakan hal-hal yang sifatnya non-general, terutama dalam bahasan ini. Muslimah yang berjilbab, bercadar, ataupun tidak menggunakan keduanya adalah bentuk dari kebebasan mereka dalam memilih, dan tidak seharusnya diperolok-olok apalagi mendapatkan tindakan yang diskriminatif. Mereka berhak atas pilihannya, dan seharusnya hal itu bisa dihormati bersama.

Harus adanya jalan tengah….

Kemudian ketika membahas mengenai cadar dan instansi, ini adalah dua kepentingan yang berbeda, dan mau tidak mau harus dicari jalan keluarnya. Ini sama saja seperti memaksa muslimah non hijab menggunakan hijab di kampus. Kaitannya juga sama dengan meminta yang bercadar melepas cadarnya. Namun dalam hal ini pandangan saya adalah baik dari instansi ataupun mahasiswanya hendaknya mengambil jalan tengah, seperti yang diterapkan oleh UMY maupun UAD, yaitu meminta pelepasan cadar HANYA ketika memang momen tersebut membutuhkan verifikasi identitas melalui pengenalan wajah. Jika selebihnya maka mahasiswi tersebut masih boleh menggunakan niqab atau cadarnya di area kampus. Karena memang itu tidak menggangu siapapun.

Kalau misalnya ada yang terganggu dengan cadar karena alasan personal, ya itu masalahnya di dia, tinggal jangan lihat. Kan beres? Kalau mau bilang cadar itu berlebihan dan tidak rapih, ya itu standarmu, bukan standar semua orang. Jadinya untuk alasan yang tidak personal seperti itu, pelarangan cadar tidak dapat dibenarkan.

 

Dan bagi yang bercadarpun, sesungguhnya pembukaan sebagai bukti dan ferivikasi diri bukanlah hal yang haram, sehingga dalam hal ini, mungkin dibutuhkan saat presentasi, ujian, dan lain hal, bisa juga bekerjasama, untuk menghidnari fitnah dan kesusahan di kemudian hari.

Generalisasi paham radikal kepada yang bercadar harus diubah…

Ini adalah salah satu pikiran yang paling mengganggu. Perempuan bercadar tidak selamanya teroris dan radikal. Sama halnya seperti perempuan tidak berjilbab yang tidak selamanya bejat dan kurang iman. Tidak semua yang bercadar itu kaku, eksklusf, dan bahkan berpikiran sempit. Sama halnya ketika dikatakan tidak semua yang tak berjilbab itu kurang Islam dan tidak nyambung ngomongin agama. Kan?

Jadinya jika memang mau mengatai orang yang bercadar, carilah dulu fakta-fakta yang runtut dan tepat. Jangan asal main samaratakan saja. Sebab itu benar-benar merugikan bagi si perempuan tersebut. Padahal hak dia dalam bercadar itu sama sekali tidak merugikan siapapun.

Dan bagi saudariku yang bercadar, hendaknya kemudian sama-sama memahami bahwa jangan sampai eksklusivitas menjadi inti. Harus tetap mau membaur, karena dakwah adalah perkara wajib dan dilakukan dengan sebaik-baiknya cara. Jangan hanya mau berkumpul dengan yang sejenis pakaiannya dan menganggap yang berbeda bukanlah saudara.

Dalam hal penghilangan stereotype dan stigma negatif ini memang haruslah dimulai dari dua sisi. Yaitu dari sisi sebagai masyarakat dan dari sisi para pengguna cadar itu sendiri–sebagai pemberi edukasi yang utama mengenai hal ini.

 

YES for Niqab, but NO for Radicalism…

Saya mengatakan yes untuk cadar, oke untuk pilihan atas atribut keagamaan, namun no untuk segala hal yang sifatnya radikal dan melawan NKRI. Dalam hal ini kemudian saya sendiri dapat memahami jalur yang diambil oleh pihak UIN, yang mengeluarkan peraturan resmi, sejak adanya pemasangan bendera ormas yang secara hukum masih  ilegal di Indonesia. Dalam hal ini juga saya memberikan pandangan bahwa masalah yang menjadi inti dari kesaklekan UIN tadi adalah karena memang sudah adanya tanda-tanda dan bukti dari adanya pengikut ormas tersebut, sehingga sampai menyebar informasi bahwa UIN merupakan tempatnya Islam radikal.

Namun kembali lagi, konseling begitu dibutuhkan dalam hal ini, karena generalisasi dari mereka yang bercadar bukanlah jalan keluar. Dan setiap mahasiswi yang bercadar punya hak bersuara dan dimintai pendapatnya.

 

Di atas saya sudah menjabarkan mengenai cadar, pakaian tertutup, dan kasus pelarangan yang belakangan ini ramai dibicarakan. Dan apapun itu perdebatannya, memanglah setiap tuntutan tidak bisa dilepaskan dari keduabelah pihak, karena hanya akan mebuat semuanya semakin runyam, dan susah ketemu jalan keluarnya. Dalam hal ini memang harus bisa dipandang dari sisi mahasiswinya dan juga instansinya.

Setiap perempuan muslim, berhak atas cadarnya. Berhak dihormati dan juga mendapatkan kehidupan yang baik dan layak tanpa diskriminasi.

 

Karena itulah kemudian ketika sebuah instansi pendidikan membuat sebuah peraturan terkait dengan busana dan atribut keagamaan mahasiswinya, hendaknya benar-benar berusaha mengerti  dengan penuh kehati-hatian dan menemukan jalan tengah yang tidak mendeskriditkan secara sengaja dan merugikan bagi salah satu pihak. Agar kedepannya mahasiswi tersebut juga bisa diajak bekerjasama dan mengikuti peraturan tanpa dibelenggu haknya.


Posted

in

by