Denny JA dan Adjie Alfarabi, Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), memastikan bahwa calon petahana, Joko Widodo belum tentu menang pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang.
“Sebesar 50 persen kemungkinan pejawat presiden terpilih kembali. Sebanyak itu pula, kemungkinan 50 persen pejawat dikalahkan,” kata Adjie usai merilis survei terbaru LSI di kantornya, Jakarta Timur, Jumat (2/2).
Peluang 50:50 ini, kata Adjie, adalah tanda jikalau kemenangan pada pilpres 2019 mendatang akan ditentukan dari pengolahan isu yang liar dan tepat oleh masing masing calon nantinya.
Adjie juga mengatakan, pada pilpres 2014, tidak ada petahana presiden yang memperebutkan kekuasaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menjabat presiden sebanyak dua periode dan sesuai dari aturan undang undang, dirinya tidak bisa lagi mencalonkan diri. Ini berarti, pada pilpres 2014 silam, tidak ada kehadiran presiden petahana sebagai peserta. Tapi, pada pilpres 2004, petahana presiden kalah. Sedangkan pilpres 2009, petahana presiden menang.
Bila melihat ke pilpres Amerika Serikat, ketatnya kompetisi petahana kekuasaan amatlah ketat. Berdasarkan data, dari 18 kali pemilu presiden, petahana kembali maju untuk memimpin periode kedua, 10 kali presiden pejawat menang dan delapan kali pejawat presiden kalah. Presentasi ini bila dihitung berdasar data, akan terlihat besarannya sejumlah 55 persen.
“Berdasarkan kasus Indonesia dan AS, 50-55 persen petahana presiden akan menang. Namun sebesar 45-50 persen pula pertahana akan kalah. Data ini bisa jadi berita baik atau buruk untuk Jokowi,” kata Adjie.
Melalui temuan riset yang baru ditemukan LSI, pada Januari 2018, elektabilitas Jokowi mencapai 48,59 persen. Pada sisi lain, elektabilitas calon calon dari pesaing Jokowi sebesar 41,20 persen, dan ada 10,30 persen orang yang tidak pasti pilihannya.
“Kami melihat Jokowi sudah kuat tapi belum aman,” demikian Adjie mengatakan, yang bisa juga disimpulkan, ini bisa jadi tahun terakhir Jokowi menjabat.