Putri Candrawathi Memiliki Privilige Untuk Tidak Ditahan ?
Putri Candrawathi merupakan tersangka komplotan pembunuhan Brigadir bersama suaminya, Ferdy Sambo. Menjadi komplotan pembunuhan
Putri mengaku sebagai korban kekerasan seksual oleh Alm. Brigadir J. Meskipun pernyataannya selalu berubah salah satunya dari soal lokasi dilecehkan.
Berbeda dengan kasus kekerasan seksual lainnya, publik dibuat bingung kondisi ingin membela siapa karena disisi lain kasus kekerasan seksual kita diharuskan mempercayai korban.
Meskipun begitu, di kasus kekerasan seksual lainnya kita harus memiliki alasan untuk mempercayai korban
Speak-up itu nggak mudah dan menakutkan
Membicarakan soal pengalaman menjadi korban kekerasan seksual, barangkali ia membutuhkan keberanian yang besar untuk bersuara. Semua berkat budaya normalisasi kekerasan seksual yang sudah terinternalisasi di masyarakat. Makanya banyak korban yang memilih untuk merahasiakan identitasnya atau baru membuat laporan beberapa bulan bahkan tahun setelah kejadian.
Membicarakan kekerasan seksual tidak mudah karena masih banyak yang menganggap itu sebagai sebuah aib.
Trauma dan posisi korban yang rentan
Coba sebentar saja posisikan dirimu sebagai korban. Nggak perlu mengalami langsung atau pun kenal dengan korban kekerasan untuk bersimpati dan berempati. Trauma yang dirasakan nggak hanya terjadi sekali saat kejadian. Terlebih lagi ketika pelaku masih hidup bebas dengan tenang atau ketika ada kejadian serupa juga yang terjadi lagi.
Selain trauma ketika tindak kekerasan terjadi, penolakan dari berbagai pihak setelah speak-up juga bisa membuat trauma baru. Misalnya dari pihak berwajib yang tidak menangani laporan dengan serius, dari keluarga yang lebih memilih untuk diam ketimbang jadi omongan tetangga, dan sekarang sudah lebih advanced lagi: warga net yang bahkan nggak tahu korban sama sekali bisa dengan mudah langsung menghakimi. Alhasil korban semakin merasa sendirian tanpa dukungan.
Ditambah lagi dengan doxxing yang sekarang marak terjadi. Mengorek masa lalu korban, mencari tahu latar belakangnya, atau yang parah sampai dicari alamat rumah dan nomor teleponnya untuk diintimidasi lebih lanjut. Padahal info-info tambahan ini juga sebenarnya nggak relevan tuh untuk kita yang hanya by-standers.
Kita harus meng-apresiasi korban karena ia berani untuk speak-up tentang masalahnya, sebab banyak korban tidak berani bersuara karena beberapa alasan seperti; mereka menganggap peristiwa yang dialami merupakan aib memalukan yang harus ditutupi, mereka takut tidak dipercaya dan disalahkan, khawatir akan konsekuensi negatif yang didapat jika melapor, dan meragukan proses hukum.
Memang benar kita harus membela korban dengan alasan yang telah dijelaskan, tetapi hal yang membingungkan adalah karena orang yang merasa “korban” adalah salah satu orang yang berkomplot pembunuhan dan ia adalah salah satu orang yang punya privilege.
Apakah Ini Yang Disebut Privilige ?
Komnas perempuan, Andy yentriani dan Siti Aminah, sama-sama mendukung agar putri tidak ditahan karena ia adalah korban.
Komnas perempuan memiliki alasan bahwa ia membela dengan alasan yang tepat. Regulasi negara tentang penahanan yang dibebankan kepada putri memang seharusnya bisa di negosiasi dengan melihat peraturan yang ada.
Ketika para public figure menyamakan kasus perempuan-perempuan lainnya yang tetap di penjara meskipun punya anak, komnas perempuan bergeming bahwa apa yang ia lakukan untuk tidak menahan putri sudah benar.
Publik memberikan pernyataan terkait dugaan Putri Candrawathi tak ditahan karena adanya privilege atau hak istimewa. Hal itu isunya karena Putri merupakan istri dari mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Ferdy Sambo.
Lantas pada siapa kita bepihak ? Bukankah ini kasus membingungkan ?