Fenomena pemaksaan jilbab di Indonesia agaknya sesuatu yang seringkali terjadi. Misalnya di Yogyakarta pada bulan lalu, terdapat anak SMA yang dipaksa menggunakan jilbab.
Nah disusul minggu lalu terdapat akun youtobe Zavilda yang memaksa perempuan memakai jilbab. Ia memaksakan standar keshalihan perempuan dengan berhijab.
Zavilda melabeli akun Youtobe nya sebagai bentuk sosial untuk mengajak orang-orang untuk beragama dengan baik, salah satunya menggunakan hijab
Narasi beragama yang dibawa oleh Zavilda termasuk memaksakan narasi-narasi agama yang memaksakan keshalihan perempuan.
Netizen merespon video Zavila terkait video-videonya yang justru membuat malu agama islam.
Hijab diartikan sebagai baju, maka jilbab adalah pakaian yang menutupi tangan dan kakinya. Kemudian jika ia adalah kerudung maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya.
Selanjutnya jika maknanya pakaian yang menutupi badan maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kerudung lebar yang dipakai muslimah untuk menutupi kepala dan leher hingga dada.
Jilbab di Indonesia sendiri awalnya lebih dikenal dengan sebutan kerudung yaitu kain untuk menutupi kepala, namun masih memperlihatkan leher dan sebagian rambut.
Baru pada awal tahun 1980-an istilah jilbab mulai dikenal, yaitu kerudung yang juga menutup leher dan semua rambut.
Hijab Bukan Sebagai Standar Keshalihan
Pemaksaan memakai jilbab yang dilakukan zavilda kepada orang-orang yang terdapat di kontennya, ia mengatasnamakan hijab sebagai bagian yang wajib di Islam.
Dalam tafsir ayat-ayat Al-Qur’an tentang aurat, hijab memiliki banyak tafsir, dari Batasan aurat sampai anggota tubuh yang termasuk bukan aurat.
Sebagian pakar menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat sehingga harus ditutup. Sementara sebagai pakar lain menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat sehingga diperbolehkan untuk diperlihatkan
Buya Husein Muhammad dalam bukunya memberikan perspektif bahwa fenomena standar keshalihan pada perempuan dilihat dari hijabnya. Buya menganggap hal ini sebagai sesuatu yang salah dan dinormalisasi sampai hari ini.
Selain itu, Buya mengatakan bahwa banyak para perempuan yang tidak memakai jilbab banyak yang memiliki akhlak lebih baik. Jadi anggapan bahwa perempuan tidak menggunakan jilbab lantas di cap sebagai perempuan tidak baik adalah salah. Meskipun diluar sana terdapat perempuan yang memakai jilbab berakhlak mulia.
Tetapi bukan masalah wajib tidaknya jilbab yang ingin dikemukakan di sini, melainkan fenomena pemakaian jilbab oleh perempuan di masyarakatlah yang ingin dibahas. Agar diharapkan fenomena jilbab ini dapat dilihat tidak hanya dari segi normative.
Namun, meskipun bukan masalah legal formal tentang wajib atau tidaknya jilbab bagi perempuan muslim, pada realitanya aturan wajib inilah yang mendasari berbagai pembentukan persepsi di dalam masyarakat. Bahwa perempuan muslim atau muslimah yang baik dan taat adalah mereka yang mengenakan jilbab. Sehingga yang muncul kemudian adalah anggapan bahwa muslimah yang tidak berjilbab itu belum menjalankan agama secara benar.
Hijab tidak bisa dijadikan standar keshalihan pada perempuan, sebab tidak semua keshalihan itu tampak di mata orang.
Dalam setiap kasus yang terjadi pada fenomena pemaksaan pemakaian jilbab, hal yang mendasari hal itu adalah karena mereka yang memaksa masih memiliki pemahaman bahwa perempuan harus berhijab.
Padahal standar seorang perempuan beragama dengan baik tidak harus dengan hijab. Banyak rutinan, kewajiban agama yang masih bisa digunakan untuk melakukan kebaikan. Sebab semua agama mengajarkan kebaikan.
Leave a Reply