Yogyakarta, Kota Layak Anak Tetapi Pernikahan Anak Meningkat

waktu baca 3 menit

Yogyakarta mendapatkan gelar kota ramah anak. Gelar itu didapatkan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak Republik Indonesia, Yohana Susana Yembise di Dyandra Convention Center, Surabaya.

Yogyakarta mendapatkan gelar Kota Layak Anak pada tahun 2021 dan 2022.

Dilansir dari warta.kartajogja.com, Indikator dari penilaian tersebut di antaranya adanya Perda tentang Kota Layak Anak (KLA), memiliki Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Ruang Tanaman Hijau (RTH) yang ramah anak hingga cakupan untuk mendapatkan akta kelahiran secara mudah.

Berbeda pada tahun-tahun sebelumnya, Yogyakarta menjadi kota yang masuk kategori pernikahan anak yang tinggi.

Pernikahan anak merupakan pernikahan yang terjadi pada usia-usia sebelum waktunya. Dalam undang-undang umur perempuan dan laki-laki untuk menikah dengan alasan yang logis.

Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta mencatat sebanyak 46 pasangan melangsungkan pernikahan dini di usianya yang masih belia. Sebanyak 43 pasangan merupakan kasus hamil di luar nikah.

Hal ini membuktikan bahwa kota layak anak yang diberikan pada Yogyakarta masih terdapat celah-celah buruk bagi anak. Sebab pernikahan anak sangat tidak baik dilakukan.

Berikut beberapa rangkuman tentang mengapa pernikahan anak tidak boleh dilakukan di Indonesia, termasuk di Yogyakarta

1. Pernikahan anak memberikan dampak pada Kesehatan Perempuan

Hamil di usia menyebabkan ibu hamil rentan mengalami darah tinggi dan bisa saja mengidap anemia. Kehamilan pada usia muda juga rentang dikarenakan belum matangnya secara fisik untuk melahirkan. Begitu pula dengan panggul anak yang sempit juga  mengakibatkan anak tidak berkembang dengan sempurna.

Dilansir dari hellosehat.com, anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun.

Selain kesehatan ibu, angka kematian bayi bagi ibu remaja juga lebih tinggi dan 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah prematur. Kemungkinan anak-anak tersebut mengalami hambatan pertumbuhan (stunting) selama 2 tahun juga meningkat sebanyak 30%-40%.

2. Pernikahan anak merupakan salah satu penyebab dari tingginya angka perceraian di masyarakat.

Di Indonesia, angka perceraian antara usia 20-24 tahun lebih tinggi pada yang menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini dikarenakan anak-anak tersebut belum matang secara fisik, mental, dan spiritual untuk mengemban tanggung jawab yang diperlukan dalam mempertahankan hubungan perkawinan.

Seperti hal nya di Yogyakarta, anak -anak yang mendapatkan dispensasi pernikahan belum sepenuhnya matang secara fisik, mereka yang mendapatkan dispensasi rata-rata mengalami kehamilan tidak diinginkan.

3. Pernikahan anak menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Data global menunjukkan bahwa bagi anak perempuan yang menikah sebelum umur 15, kemungkinan mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga meningkat 50%. Selain karena ketimpangan relasi kuasa, para pengantin muda cenderung penuh emosi sehingga gampang emosi.

 

Ketidakstabilan emosi yang dimiliki oleh pengantin muda juga menjadi salah satu faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi momok menakutkan.

Idealnya pernikahan adalah untuk membina rumah tangga yang baik. Pernikahan anak tidak boleh dilakukan dengan alasan bahwa pernikahan yang dijalani adalah untuk menghindari zina dan faktor ekonomi.

Sebab dengan menghindari zina adalah dengan tidak menikah dini, masih banyak hal yang harus dilakukan. Salah satunya adalah menuntut ilmu, sekolah setinggi-tingginya

Faktor ekonomi seharusnya sudah hal klasik yang dilalui teman perempuan yang menjalani pernikahan anak, tetapi hal itu bukan solusi

Jika kekurangan ekonomi seharusnya bekerja dan mengumpulkan uang

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *