GIRLISME.COM – “Saya mau memperjuangkan hak-hak wanita. Banyak wanita diperlakukan tidak adil, dicerai tidak boleh protes atau ke pengadilan. Hal ini amat menyakitkan hati saya.”

Pembahasan Hari Ibu yang pernah kita diskusikan sebelumnya di sini  sesungguhnya bisa muncul salah satunya karena keterlibatan seorang perempuan cerdas. Salah satu pejuang perempuan Indonesia yang nantinya akan kita kenal sebagai perempuan yang menduduki kursi politik pertama di Indonesia. Namanya mungkin jarang kita dengar, dan tidak lumrah dibahas dalam rentetan perjuangan Indonesia. Namun bukan berarti bahwa hal tersebut mengurangi kenyataan bahwa perempuan Indonesia bisa berada dalam kondisi yang baik dan berdaya saat ini adalah karena titik kunci yang dipegang oleh beliau.

Memilih bersekolah demi kaumnya.

Maria Ulfah lahir di keluarga priyayi pada  18 Agustus 1911 di Banten. Ayahnya adalah Raden Mohammad Achmad jebolan Pamong Praja didikan Belanda, yang sempat menjabat sebagai bupati Kuningan dan bupati Meester (Jatinegara). Ibunya adalah RA. Hadidjah Djajadiningrat yang juga merupakan anak bupati Serang Banten kala itu. Saat Maria Ulfah belum menyelesikan sekolahnya, ayahnya mendapatkan kesempatan ke luar negeri untuk melaksanakan tugas belajar perkoperasian, tepatnya di Denhaag. Mohammad Achmad lantas membawa serta anak-anaknya, dan di sanalah kemudian Maria Ulfah memperoleh sarana pendidikan. Awalnya ida ditawari untuk mengambil jurusan kedokteran, namun ditolaknya. Ia lebih memilih untuk menekuni jurusan hukum. Mengapa?

Maria Ulfah merasa prihatin dan sangat sakit melihat kenyataan perempuan Indonesia pada kala itu. Perempuan benar-benar dikungkung ketidaksetaraan, dan berada dalam ranah patiarki yang sangat pekat.

Ia bahkan pernah menyaksikan seorang perempuan yang dengan tidak wajar, tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan kesetaraan dalam hak-hak keluarga dan rumah tangga. Karena itulah Maria Ulfah menolak tegas tawaran ayahnya untu menjadi seorang dokter dan mau mengambil ranah hukum, demi membuat hukum yang lebih baik lagi bagi kesejahteraan perempuan Indonesia.

Ia merupakan perempuan lulusan sarjana hukum pertama milik Indonesia dari Universitas Leiden. Setelah lulus ia  kembali ke Indonesia setahun setelahnya dan mengabdikan diri sebagai pengajar di berbagai sekolah rakyat dan aktif masuk dalam pergerakan perempuan.

Menteri Perempuan Pertama Indonesia

Maria Ulfah diangkat sebagai Menteri Sosial pada zaman kabinet Syahrir, dan menjadi perempuan pertama di Indonesia yang menduduki posisi politik saat itu.

Bermediakan itulah kemudian Maria Ulfah mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Salah satunya adalah melalui kritikan pedas terhadap Undang-undang perkawinan yang kala itu baru saja diresmikan oleh Kementerian Agama Indonesia. Saat itu pemrotesan Undang-undang dilakukan karena menurutnya memberatkan perempuan, menjadikan posisi perempuan sangat susah untuk meminta cerai atas suaminya, sedangkan suami sendiri posisinya begitu mudah untuk menjatuhkan talak dan menceraikan istrinya.

Perubahan undang-undang tersebut memakan waktu yang tidak sebentar, yaitu lebih dari 20 tahun!

20 tahun lamanya barulah kemudian perempuan Indonesia dapat menikmati kesetaraan pengajuan permintaan cerai antara laki-laki dan perempuan ke pengadilan melalui pengadaan sidang. Undang-undang terebut terwujud dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Jo Undang-undang nomor 7 tahun 1989. Tidak terbayang rasanya apabila UU tersebut didiamkan dan tidak ada usaha pengritisan dari Maria Ulfah, apa jadinya perempuan-perempuan saat itu…dan bahkan apa jadinya kesejahteraan para istri saat ini?

Aktivis Pejuang Perempuan yang Berdedikasi Luar Biasa.

Maria Ulfah mendedikasikan hidupnya untuk kesetaraan perempuan Indonesia mulai sejak masa sekolahnya hingga kemudian ia menjejakkan kaki kembali ke Indonesia. Maria Ulfah menelusupkan usaha-usaha penaikkan derajat perempuan melalui kiprahnya ketika berhasil diangkat menajdi salah satu anggota BPUPKI dan merumuskan undang-undang.

Maria Ulfah merupakan salah satu inisiator berdirinya gerakan perempuan Istri Indonesia, dan langsung didaulat menjadi ketuanya. Organisasi ini bergerak dalam hal edukasi dan juga penyuaraan hak perempuan, walaupun belum sampai ke ranah penyuaraan ke ranah-ranah politik. Karena saat itu kondisi perempuan Indonesia butuh banyak sokongan dalam hal-hal yang paling mendasar, seperti mental, kesetaraan bebas dari kekerasan dalam rumah tangga, kesetaraan dalam perkawinan dan sebagainya.

Dari asal-muasal inilah kemudian nantinya muncul pergerakan perempuan Indonesia melalui Kongres Perempuan Indonesia, dan melahirkan Hari Ibu, yang sampai sekarang kita peringati bersama.

Maria Ulfah adalah sosok kunci yang berada di belakang persatuan perempuan Indonesia hingga berada pada satu gerakan yang sama.

Jika saja saat itu tidak ada belau, maka mustahil rasanya Indonesia akan memiliki ahri perayaan perempuan secara resmi dalam undang-undang!

Penentang Keras Poligami!

Soal Poligami, Maria Ulfah mengatakan, “Bagaimana mungkin perempuan Indonesia memenuhi harapan kita untuk mengasuh bangsa yang baru jika laki-laki Indonesia tidak ingin melepaskan kedudukan mereka sebagai raja dalam perkawinan? Bebaskan kekuasaan itu. Perempuan memiliki perasaan, perempuan memiliki pemikiran, sebagaimana laki-laki. Kami, perempuan Indonesia, ingin memiliki hak azasi manusia.” (Sumber : Berdikarionline.com)

Ada cerita yang menarik tentang yang satu ini….

Jadinya terdapat kubu-kubu dalam hal poligami di tengah perempuan Indonesia. Ada yang sebagian menyetujui, dan sebagian lagi menolak keras. Kedua kubu ini kemudian bertemu pada acara kongres ke-IV Perkumpulan Perikatan Istri Indonesia (PPPI) pada tahun 1933. Pada saat acara, benturan dan debat panas tidak terhindarkan. Kala itu salah seorang perwakilan dari pendukung poligami mengatakan bahwa poligami merupakan kewajiban perempuan (Ratna Sari, aktivis PERMI (muslim)).

Mendengar ini, perwakilan dari kubu kontra langsung naik ke panggung dan menolak mentah-mentah. Mengatakan bahwa poligami sama saja membjat laki-laki sama seperti ayam, yang punya telur dan anak dimana-mana! (Istri Sedar, Nj Pringgodigdo).

Suasana menjadi riuh sekali saat itu, sampai-sampai peserta laki-laki yang hadir di kongres menirukan suara ayam jantan dan betina. Di tengah kekisruhan inilah kemudian Maria Ulfah tampil dan menawarkan jalan tengah bagi keduabelah pihak, yaitu membentuk sebuah Badan Konsultasi Perkawinan. Dan usul ini disetujui oleh peserta kongres, baik itu yang muslim maupun non muslim yang tadinya bergelut.

Maria Ulfah menganggap bahwa perseteruan antara perempuan jutsru adalah celah yang akan melemahkan perempuan itu sendiri. Jadinya daripada energi mereka digunakan untuk menyerang dan menjatuhkan satu sama lain, kenapa tidak digunakan untuk membentuk satu ikatan saudara yang berdaya, untuk mendobrak diskriminasi perempuan yang ada.

Sehingga walaupun secara personal ia menentang poligami, namun itu bukanlah alasan baginya untuk melakukan diskriminasi terhadap kaumnya yang memiliki pemikiran berbeda.

 

Berbeda dengan perempuan saat ini, yang mungkin masih heboh dan bangga koar-koar tentang pelakor, padahal yang direndahkan justru kaum mereka sendiri.

 

Perjuangan Melalui Jalur Hukum yang Gigih.

Perjuangan Maria Ulfah dalam menyejahterakan kaum perempuan Indonesia melalui Ilmu hukum yang dimiliki memang melalui perjalanan yang sangat panjang.

Salah satunya dalah melalui pengetuaan Komite Penyelidik Undang-Undang Perkawinan Islam dan melakukan pengajuan undang-undang perkawinan yang mengaitkan pemisahan antara UU perkawinan itu sendiri dan UU agama. Perjalanan Maria Ulfah terus berlanjut melewati tahun 1939 ketika Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP) akhirnya terbentuk, yang bertugas untuk mencermati kedudukan perempuan di Indonesia disandingkan degan wacana adat dan hukum Eropa.

Berlan jut lagi ke tahun 1950 ketika pemerintah meresmikan Komisi bernama Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk (NTR) yang memiliki tugas untuk memeriksa kesesuaian hukum mengenai perkawinan secara berkala, untuk memastikan apakah sesuai dengan perubahan dan kondisi masyarakat.

 

 

Seperti yang dilihat, sepak terjang Maria Ulfah mungkin memang tidak seheboh perayaan Hari Kartini, namun tak dapat dipungkiri bahwa semangat beliaulah yang mengantarkan perempuan Indonesia hingga ke zaman saat ini. Dimana kita sudah dapat lebih terbuka pada yang namanya bersuara, emansipasi, kesempatan berpolitik…dan yang terutama kesempatan untuk dianggap sama haknya di hadapan hukum.

Justru tidak terbayang andaikan dulu beliau tidak ada, maka sesungguhnya perempuan Indonesia tidak akan menemukan titik terang dalam membentuk sebuah gerakan persatuan, yang mampu mengritik dan mengguncangkan regulasi hukum dan ketatanegaraan di Indonesia.

Beliaulah akar keberanian kita. Benih persatuan dan keberdayaan perempuan Indonesia. Cikal bakal perempuan-perempuan luar biasa. Istri, anak-anak, ibu, dan penerus bangsa yang lebih mampu bersuara daripada sebelumnya.

Terimakasih Ibunda Maria Ulfah! : ))