Salah satu stereotype mengenai perempuan adalah kemampuan mereka yang sangat hebat dalam menyusun kode, yang bahkan sangat sulit untuik dipecahkan oleh kaum laki-laki. Stereotype merupakan pelabelan yang biasanya memiliki makna negatif, yang dipasangkan ke diri seseorang berdasarkan perilaku kebanyakan dari kelompoknya. Kemampuan perempuan untuk mengkode ini kemudian dijadikan semacam trending topic di antara para lelaki. Sebagian mungkin masih pada level yang biasa dan lucu jika dijadikan meme. Tapi ternyata pemikiran mengenai perempuan dan kode ini semakin lama semakin nyata, dan berefek di dalam suatu hubungan. Bahkan imbas kepada semua perempuan, langsung mendapat cap tukang kode. Sama seperti perempuan mengecap laki-laki satu dan yang lain sama saja.
Tulisan ini dibuat bukanlah untuk menyalahkan perempuan. Bukan juga untuk menyudutkan posisi perempuan. Tulisan ini penulis buat diniatkan untuk menanggapi stereotype tukang kode pada perempuan yang semakin lama sepertinya semakin menjadi-jadi.
Penelitian mengenai cara kerja otak manusia ada yang mengatakan kalau otak perempuan dan laki-laki itu bekerja dalam bentuk yang berbeda. Perempuan lebih dominan dengan perasaan dan laki-laki lebih dominan dengan logikanya. Namun kemudian penelitian lain mematahkannya bahwa antara otak laki-kaki dan perempuan tidak terdapat perbedaan secara khusus. Yang membuat cara pikir berbeda adalah latar belakang pendidikan dan juga lingkungan yang dimiliki. Itulah sebabnya sebagian laki-laki juga sering ditemui seperti perempuan. Dan sebagian perempuan memiliki cara pandang yang dianggap seperti laki-laki.
Kebiasaan perempuan dalam membuat kode dalam hubungan ini bisa terjadi juga karena adanya pembenaran stereotype tadi. Dikatakan bahwa aktifitas otak yang dilakukan oleh perempuan juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Maka pelegalan atas kesan perempuan yang sangat suka mengkode ini juga terus dilestarikan,dengan perempuan yang percaya akan hal itu.
Padahal sebenarnya yang bisa mengkode bukan hanya perempuan, namun lelaki juga bisa–karena jika lelaki tidak bisa, maka mustahil akan ada istilah playboy.
Namun kembali lagi, karena memang basis masyarakat kita menempatkan perempuan sebagai posisi yang lebih lemah, rempong, dan juga berada di bawah laki-laki, maka kebiasaan kode ini disinyalir juga sebagai wujud perempuan yang tidak leluasa dalam menyampaikan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak selugas dan setegas laki-laki dalam mengatakan maunya apa. Perempuan selalu butuh bantuan bahkan untuk menerjemahkan mereka ingin apa. Bahkan dengan adanya sosial media semakin menyuburkan ide tersebut dengan adanya parodi, meme, video, dan segala macam yang ternyata juga dibagikan, disukai, dan diperankan juga oleh sesama permepuan. Sehingga jatuhnya perempuan juga mengiyakan anggapan tersebut. Menjadikan kode-kodean hanya punya perempuan, dan semua perempuan pasti kode-kodean.
Jika kita melihat dari sisi stereotype tersebut berdasarkan pandangan laki-laki, bermain kode ini merupakan hal yang tidak mudah. Apalagi mereka dikatakan sebagai makhluk berlogika, yang menginginkan hubungannya berjalan dengan otak saja, jangan kebanyakan perasaannya. Sehingga ketika perempuan mulai untuk menggunakan kode-kodean abstrak, yang kalau salah bisa langsung nyambung ke perasaan, bahkan beresiko menggagalkan hubungan. Yang menjadi keluhan laki-laki adalah mereka sangat kesulitan untuk mengambil langkah harus melakukan apa. Katanya iya, tapi maknanya tiddak. Katanya iya boleh pergi saja, tapi malah artinya jangan, kalau pergi artinya perang.
Kepada para perempan, kalian harus memahami bahwa pelanggengan kode-kodean tersebut beresiko sangat besar bagi diri kalian maupun hubungan yang kalian bangun. Percayalah kode-kodean ini benar-benar menempel di jidat kalian, sekaligus menempelkan hal yang sama ke jidat-jidat perempuan lainnya. Refleksi diri yang dibangun berdasarkan kebiasaan kode-kodean ini benar-benar mengiyakan ketidakmampuan perempuan dalam mengutarakan maksudnya apa. Yang seperti ini terus begini di saat yang sama kalian ribut memperjuangkan emansipasi. Yang berkomunikasi saja tidak mampu bertumpu sendiri, dan apa-apa selalu menggunakan bahasa tebak-tebakan, di saat yang sama kalian mengeluhkan mengapa perempuan dibelakangkan.
Membangun hubungan berdasarkan pemikrian yang berbeda memang bukan hal yang mudah, tapi sebenarnya hal ini bukan yang menghalangi kalian untuk bisa mengatakan hal yang sebenarnya dengan menggunakan komunikasi dan diskusi yang lebih lugas dan terbuka. Terlebih lagi dalam mengutarakan masalah keseharian yang itu-itu saja, atau masalah perasaan yang pastinya tidak serumit peluncuran nuklir untuk Perang Dunia.
Percayalah tidak ada yang namanya perempuan wajar kode-kodean, dan laki-laki tukang penerjemahnya. Perempuan bisa berbicara lebih lugas. menyatakan maksud dan tujuannya secara lebih tegas.
Karena terkadang yang lucu dari sebuah stereotype adalah hal itu terasa menyakitkan dan menyinggung karena sebenarnya pelabelan negatif tersebut dianggap benar–oleh mereka yang diberi label.