#JusticeforAY : Mau Sampai Kapan Indonesia Hobi Mendamaikan Kebodohan??
GIRLISME.COM – Mulai nulis artikel ini sebenarnya saya harus dalam kondisi kepala dingin dulu, hati juga harus adem dulu, karena takutnya nanti isi artikelnya dipenuhi sumpah serapah semua.
Sebelum ngomong jauh, saya akan rangkum dulu kronologi ketidakberuntungan yang didapatkan oleh AY, siswi SMP di Pontianak yang dikeroyok habis-habisan oleh 12 siswi SMA.
Kronologi Pengeroyokan AY oleh 12 Siswi SMA…
Jadi ini adalah asal mula mengapa AY sampai bisa dikeroyok oleh 12 siswi SMA tersebut.
Selanjutnya saya akan bahas kronologi kasus pengeroyokannya…
Tanggal 29 Maret 2019
AY dijemput oleh pelaku pada siang hari. Alasannya adalah ingin meminta AY buat mempertemukan mereka dengan kakak sepupunya tersebut. AY mengiyakan, karena memang nggak punya pikiran akan dikeroyok sama sekali, dan sejujurnya dia juga nggak mengenali pelaku, yang ia pahami bahwa mereka adalah teman kakaknya.
AY lalu dibawa ke Jalan Sulawesi dan diinterogasi beberapa pertanyaan. Setelah menjawab, lalu tiba-tiba 3 orang pelaku langsung menghajar AY, yang disambut oleh 9 orang lainnya. AY di sana dalam posisi masih bingung dan juga kaget, karena dia sama sekali nggak paham apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba dijemput, ditanyain, terus dipukul habis-habisan.
AY dihajar di bagian perut, dibenturkan kepalanya di aspal, disiram air, dan salah satu dari mereka mencolokkan jarinya ke alat vital AY dengan tujuan supaya selaput dara AY rusak. Akibatnya bagian vital AY membengkak. Kejadian ini ditemukan oleh warga, yang kemudian melerai si 12 orang yang mengeroyok ini. Warga lalu melihat kondisi AY dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
Tanggal 3 April 2019
Hari ini keadaan AY diketahui oleh keluarganya, setelah mengalami muntah-muntah dan mengeluh sakit. Selama dari tanggal 29 Maret saat dikeroyok, AY dipaksa bungkam karena diancam oleh pelaku. Barulah dari sini diketahui bahwa AY sudah mengalami pengeroyokan, dan langsung dilarikan ke rumah sakit oleh orangtuanya.
Tanggal 5 April 2019
KPPAD Kalimantan Barat menerima laporan kasus ini dari ibu AY, dan sebagai responnya AY difasilitasi buat mendapatkan trauma healing. Di hari yang sama, Ibu korban dan para pelaku yang didampingi oleh keluarga mereka maisng-masing melakukan mediasi…tapi hasil akhirnya adalah : tidak ada kata damai.
Tanggal 8 April 2019
KPPAD Kalimantan Barat berkoordinasi dengan Polsek Pontianak Selatan untuk melimpahkan berkas ke Polresta Kota Pontianak, guga melakukan koordinasi dengan sekolah.
Tanggal 9 April 2019
KPPAD menjenguk AY, dan mengatakan bahwa pendampingan bukan hanya akan diberikan untuk korban, tapi juga untuk pelaku, karena mereka semua masih berada dalam kategori di bawah umur.
#JusticeForAY: TIDAK ADA KATA DAMAI…
Pendidikan dan Keluarga…
Dalam membahas mengenai hal ini sebenarnya akan sangat simultan. Kita nggak akan bisa hanya membahas si 12 cewek-cewek beringas ini, tanpa memedulikan keluarga dan pendidikan mereka. Seorang anak yang tumbuh menjadi kejam dan pembuli pastinya sudah melewati proses panjang, sehingga bisa menjadi seperti sekarang. Karena nggak mungkin dong mereka begitu lahir langsung bisa salto dan nampar juga ngehajar. Pasti ada sesuatu yang salah, yang sifatnya laten dan berkembang terus-menerus, maka dari itu bisa memuncak dan ketahuan melalui kejadian ini.
Peran orangtua dan lingkungan terdekat sangat berpengaruh dalam bagaimana tumbuh kembang seorang anak. Dengan adanya kejadian seperti ini, ada 12 orang anak perempuan menakutkan, yang dengan percaya diri menjemput korban di tempat kakeknya, kemudian diinterogasi, dan dipukuli bergiliran sampai harus dilarikan ke rumah sakit…di dalam kepala saya menanyakan sebenarnya orangtua mereka selama ini ngapain?? Kemana aja sih orangtuanya??
Kenapa anak-anak ini bisa tumbuh sekejam ini dan melewati batas, sampai merugikan orang lain secara fisik dan psikis…dan orangtuanya nggak tahu? Kenapa si orang tua ini bisa kecolongan besar?? Kenapa??
Kenapa si 12 orang ini setelah mukulin dan bikin anak orang luka-luka masih bisa unggah story, nongkrong di cafe, sampai bikin bumerang di kantor polisi? Apakah setelah kejadian orangtua mereka masih baik-baik aja melepaskan anaknya untuk keluar rumah dan mengunggah konten ke sosial media? Padahal sosial media adalah alasan pengeroyokan ini dimulai?
Seriusan…saya nggak paham.
Karena menyalahkan 12 orang anak perempuan secara membabibuta nggak akan ada hasilnya kalau pangkalnya juga nggak ikut diperhatikan. Hukuman sosial yang diterima melalui sosial media memang akan memberikan efek, tapi reaksi keluarga dan lingkungan terdekat mereka sesungguhnya memegang peran yang besar dalam membuat mereka sadar dan jera.
Selanjutnya..institusi pendidikan,
Hal seperti ini mencoreng nama sekolah. Sangat. Saya jadi mempertanyakan kebecusan sekolah juga dalam menanamkan nilai moral dan pengawasan terhadap anak didiknya. Mengapa si 12 orang ini bisa berubah jadi sebegitu premannya dengan tanpa rasa bersalah di kemudian waktu. Malah masih bisa menganggap perbuatannya wajar, dan mengatakan bahwa mereka belum tentu dipastikan bersalah.
Bukankah tanggungjawab wajib dari sebuh sekolah adalah mencetak pribadi yang unggul secara moral dan intelektual? Kalau seperti ini…berarti alur pendidikan yang mereka tempuh sejak awal sampai SMA saat ini terdapat lubang besar. Kepada siapa lagi harus saya tanyakan mengenai ini kalau bukan kepada lembaga-lembaga inti pembentuk jati diri sejak anak-anak ini masih dini??
Keluarga dan sekolah nggak bisa cuci tangan, angkat tangan dan membiarkan 12 preman berjenis kelamin perempuan ini jadi tumpuan salah. Kenapa? Karena mereka juga salah!!
Saya menulis ini bukan berarti mengerdilkan kesalahan pelaku…namun harus kita ingat bahwa perilaku dan sifat seseorang nggak terbentuk dengan instan. Kebengisan 12 orang anak perempuan yang memunculkan musibah fatal bagi AY merupakan kesimpulan dari bab-bab kehidupan mereka sebelumnya ; bahwa ada yang nggak beres dengan lingkungan mereka.
Kejadian Mengenaskan Seperti Ini, Haruskah Kita Berdamai??
Petisi tentang keadilan untuk AY dalam waktu 7 jam pertama berhasil mengumpulkan satu juta tanda tangan. Menolak keras perdamaian yang sempat diajukan oleh KPPAD.
Masih segar di ingatan kita bersama mengenai kasus pelecehan seksual Agni yang juga dipatok damai oleh UGM, dan kemudian kasus ini mencuat dengan bau damai yang sama. Masyarakat jadinya berang dan menolak keras. Permintaan penghukuman dari penjara, hukuman mati, jangan diluluskan, diskors, diblakclist dari daftar universitas, bahkan sampai banyak yang mendoakan agar 12 pelaku mengalami hal yang serupa, agar mereka bisa jera…
Lagi..lagi…sebenarnya…haruskah kita berdamai dengan kasus ini?
Saya pribadi menolak keras kata damai, kekeluargaan, diikhlaskan, diselesaikan baik-baik untuk SEGALA KASUS BULLYING. Namun bukan berarti kita BOLEH membabibuta memberikan penghukuman kepada pelaku.
Jangan sampai kita menghadirkan AY kedua, ketiga dan seterusnya. Menurut saya momen ini adalah sebuah batu yang mencocok mata kita bersama agar terbuka dan berhenti menyepelekan kasus bullying yang terjadi di kalangan pelajar. Memaksa kita untuk berhenti menyepelekan potensi membahayakan seperti ini. Juga membuat orangtua menjadi lebih melek keadaan anak-anaknya…bahwa mereka bukan batu. Mereka dinamis, memiliki segala potensi baik dan buruk yang seharusnya jangan sampai membuat orangtua menjadi kecolongan. Menjadi pertanda juga dari sebuah institusi pendidikan bahwa saat ini mereka sudah kehilangan kemampuan untuk membentuk moral peserta didiknya.
Tapi kembali lagi…haruskah kita berdamai?
TIDAK.
Sanksi sosial masih ada, jalur hukum terbuka, dan kesempatan rehabilitasi juga bisa diakses. Jangan sampai kasus ini berhenti di tengah jalan dan terbawa angin, karena efek jera pada pelaku nggak akan muncul. Jangan sampai masalah seperti ini diterima dengan lapang dada dan disikapi hanya sekenanya. Jangan. Kalau seperti itu maka bibit-bibit preman akan lebih subur lagi tumbuhnya.
Saya marah. Kesal luar biasa terhadap pelaku. Ingin rasanya mereka tahu bagaimana sakitnya menjadi korban. Bagimana tersiksanya menjaid pihak yang dibuli seperti itu. Apa akibat dari perlakuan mereka yang merugikan fisik dan psikis orang lain secara fatal. Namun pada akhirnya tujuan kita adalah untuk menghentikan kasus serupa, jangan sampai ada lagi kesalahan yang sama…dengan memberikan mereka pendidikan dan rasa jera yang sesuai. Mengumumkan pada masyarakat dan anak-anak di luar sana bahwa kesalahan seperti ini sesungguhnya akan diadili.
Dan masalah ini BUKAN HANYA MASALAH MEREKA…tapi MASALAH KITA BERSAMA.
Mendoakan kemalangan bagi mereka nggak akan menyelesaikan apapun. Meminta mereka diblacklist dari sekolah dan seluruh universitas juga akan semakin menghasilkan preman yang bodoh…yang bisa jadi lebih kehilangan moral daripada ini.
Dalam tulisan ini saya menuntut penyelesaian kasus AY jangan berhenti di kata damai.
Menuntut para orangtua lebih memperhatikan anaknya dan lebih peka terhadap apa yang mereka lakukan di luar sana. Pergaulannya, teman mainnya, kegiatannya…jangan sampai lengah. Karena akan fatal seperti ini.
Menuntut institusi pendidikan dengan lebih serius mengawasi peserta didik. Bagaimana moral adalah sesuatu yang ditanamkan bukan hanya dalam waktu singkat namun harus dilakukan sejak tingkat pendidikan paling awal. Peka dengan adanya potensi geng-geng seperti ini, bullying, dan rasa senioritas yang sangat mungkin muncul di tiap tingkatan pendidikan….sebagai sesuatu yang penting, jangan sampai diabaikan.
Menuntut kita smeua untuk lebih perhatian lagi terhadap lingkungan, dan jangan segan-segan untuk bertindak kalau sampai mengertahui ada aksi serupa. Dengan besarnya lonjakan dukungan kepada AY sata ini saya yakin ini merupakan momen agar kita bisa lebih peka dan merasa marah terhadap kasus bullying….dan nggak lagi mengabaikan dan menyepelekan sebagai sebuah pertengkaran anak-anak.