GIRLISME.COM – Maudi Ayunda sudah melalui S1nya di Oxford University, dan saat ini ketika akan menempuh pendidikan S2 ia jadi rebutan Harvard University dan Stanford University. Fenomena ini langsung jadi highlight dimana-mana, entah itu jadi bahan candaan, bahan motivasi, sampai bahan sindiran. Tapi di balik riuh media sosial ngomongin tentang prestasi Maudi Ayunda tadi, sebenarnya yang begini efeknya kaya gimana sih? Jadi semangat berubah macam power ranger atau malah makin kaya butiran debu?
Ada beberapa sudut pandang yang saya lihat dan amati dari perbincangan di sosial media, ada yang mengatakan begitu bangga akan Maudy Ayunda dan memang pantas buat menjadikan panutan. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Maudy nggak perlu bekerja terlalu keras untuk bisa ada di posisinya sekarang, karena dia memang sudah berada dalam kondisi yang menguntungkan dan mendukungnya untuk menuju jalan yang dia inginkan.
Kedua pandangan ini tentu saja sah, karena memang perspektif tiap orang pastinya nggak bisa disamakan semua. Tapi dari yang saya lihat dari sekian banyak pendapat yang bertebaran, kecenderungannya rata-rata HANYA memperlihatkan kemewahan dari seorang Maudy. Memperlihatkan garis akhirnya, bagaimana dia berhasil, betapa dia sukses mencapai apa yang orang-orang bahkan hanya bisa bayangkan.
Baik dari sisi optimis dan pesimis keduanya memiliki satu celah yang sama ; mereka nggak membicarakan bagaimana proses seorang Maudy yang dulu untuk menjadi Maudy yang sekarang.
Maudy yang Nggak Berusaha…
Setiap orang silau karena Maudy sudah ada di tempat yang mumpuni saat ini dan jadi lupa bahwa sebelumnya dia harus berusaha sangat keras, mengubah banyak hal, mengusahakan yang pastinya nggak sepele.
Yang harus kita pahami adalah Maudy Ayunda itu seorang manusia biasa. Dia nggak lahir dalam keadaan langsung jenius, langsung cerdas. Mengertilah bahwa dia menjadi pintar bukan karena kekuatan ajaib. Penyakit yang kita alami saat melihat seseorang sukses adalah fokus pada hasil akhirnya tapi melupakan bahwa dia juga melewati proses yang sama panjangnya.
Okey kita mengatakan bahwa Maudy itu anak orang kaya, keluarganya punya kesadaran pendidikan yang tinggi, dia punya akses, dia nggak harus melakukan pekerjaan kasar layaknya anak-anak di desa, dia nggak perlu usaha ekstra untuk belajar karena lingkungannya sudah tersedia, dia juga nggak perlu capek mikirin bayaran ini dan itu karena masalah uang sudah di luar kepala.
Tapi apakah itu artinya Maudy nggak usaha? NO. BIG NO.
Kalau konteksnya kaya gitu maka semua anak orang kaya bakalan jadi paling pintar, dan anak orang miskin bakalan punya prestasi nol. Tapi nyatanya nggak tuh. Di Indonesia sudah banyak contoh anak-anak cerdas dari keluarga terbatas.
Maudy itu RAJIN. Tolong distempel di pikiran kita semua…dia itu R A J I N.
Dia bilang bisa menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan. Setiap hari nangkring di tempat penuh buku itu daripada harus keluar bareng teman-temannya. Sahabat terbaiknya adalah buku, yang menghabiskan waktunya hampir seharian. Dia kecanduan akan BELAJAR. Apakah hal itu adalah sesuatu yang bisa dipaksakan oleh orang lain pada kita? Apakah itu bisa muncul jeng! jeng! ala pensil ajaib?? Enggak.
Rajin itu adalah sebuah perjuangan. Dia dibentuk dengan kesadaran diri sendiri. Maudy itu berjuang untuk menumbuhkan dirinya yang seperti itu. Dan proses itu nggak sebentar, teman-teman yang budiman.
Maudy bukanlah orang ekspert yang sekali baca buku langsung khatam semua ilmu. Nggak. Dia usaha. Apa yang ada di otak dan pikirannya saat ini BUKAN dia dapatkan karena DISKON. Dia beli itu dengan harga penuh.
Yang keliru dari kita ketika merasa pesimis adalah karena kita membandingkan kelemahan kita, dengan kelebihan Maudy, dan kita me-NOL-kan usahanya.
Kita lebih bicarakan tentang segala fasilitas yang dia punya, tapi kita minimkan bahasan tentang bagaimana sebenarnya usaha Maudy atas dirinyalah yang pada kahirnya paling berperan. Tapi kita nggak bahas itu. Kita cuma tau dia anak orang kaya, dia artis, dia sukses, yaaa wajar masuk tempat kuliah bagus. Wajar kalau pintar. Wajar aja kalau gampang. Wjar aja kalau mudah.
Heyyy…orang-orang negara +62, ini tuh nggak mudah bahkan untuk Maudy. Dia melewati keraguan, dia juga insecure, dia bahkan takut dan pesimis dengan harapan yang dia punya. Dia sampai ngerasa kayanya nggak akan mungkin bisa tembus ke Stanford. Seorang dia, yang harus saingan dengan banyak banget orang mumpuni di bidang bisnis, dia sampai mikir kalau yasudah….kalau yang terpenting adalah dia sudah bisa tumbuh dari proses dia mengejar mimpi itu. Dia menghabiskan waktu intensif berbulan-bulan buat nyusun resume dan motivation letter, karena banyaknya pergolakan dan kebingungan tentang gimana cara supaya bisa memberikan hal maksimal. Dan segalanya ini nggak seharusnya kita abaikan dan remehkan. Usaha Maudy itu nggak pernah setengah jalan.
Apa sih inti dari kalimat-kalimat saya ini?
POLA PIKIR Maudy. Itulah yang dia bangun sejak awal. Itulah inti dari apa yang dia punya sekarang, dan itulah yang akan membawa dia melewati masa-masa berat berikutnya. Dan membuat pola pikir R A J I N, U L E T, T E K U N itu nggak gampang. Mempertahankannya juga jauh lebih berat. Nggak adil rasanya ketika Maudy lulus di tempat yang bergengsi dan yang dibahas adalah fasilitas orangtuanya dan ujuk-ujuk langsung meniadakan usahanya.
Walaupun orangtuamu maksain kamu buat belajar, nggak akan mempan kalau kamunya nggak suka belajar.
Walaupun orangtuamu maksain kamu kuliah sampai S10, nggak akan kejadian kalau kamunya nggak tahan.
Walaupun orangtuamu punya uang segepok, fasilitas segunung, dan ambisi selautan, akan mantul juga kalau kamunya nggak punya kesadaran yang sama.
Jadinya pada akhirnya usaha Maudy atas seorang individu juga berperan sangat besar dalam menentukan visi yang dia ingin capai. Fasilitas melimpah nggak akan berguna kalau diri sendiri memang nggak punya target apa-apa.
Maudy ya Maudy. Kamu ya Kamu….
Hanya karena Maudy lulus di universitas bergengsi, bukan berarti kamu langsung harus jadi kaya Maudy. Bukan berarti kamu harus lulus di universitas sangat beken. Bukan berarti kamu harus terbang ke luar negeri.
Adanya Maudy bukan berarti menyepelekan usaha yang kamu punya. Menomorsatukan dia, dan membuat kamu jadi keset tulisan welcome. Nggak.
Maudy dan kamu kan punya zona waktu berbeda, zona usaha yang nggak sama dan latar yang pastinya bukan di satu warna. Apa yang ada pada diri Maudy dan nggak ada padamu, bukan negasi dari sebuah kegagalan. Apa yang Maudy bisa capai dan nggak terjadi di kamu bukan berarti hidupmu penuh kesialan. Bukan.
Maudy adalah Maudy dan kamu adalah kamu.
Apa yang harusnya diambil dari Maudy adalah bahwa mimpi itu ada jalannya. Setiap orang berhak punya mimpi. Dan mimpi yang datang adalah hasil dari sebuah usaha panjang.
Kalau kamu berpikir fenomena Maudy makin bikin kamu jadi ngerasa nggak guna, bukan itu intinya. Hanya karena Maudy berhasil, bukan berarti hargamu jadi kecil.
Karena Maudy ya Maudy, dan kamu adalah kamu.
Pada akhirnya apa yang ada dalam cerita Maudy akan jadi racun di kamu kalau nggak bisa melihatnya dari sisi yang lebih adil. Kalau kamu mengambil semuanya tanpa disaring. Bukan cuma cerita Maudy, cerita keberhasilan orang lain akan selamanya kamu lihat dan nilai dengan dangkal, dan abai terhadap proses panjangnya.
Dalam tiap keberhasilan orang lain, sikapmu ini selamanya akan menjadikan kamu butiran debu yang keras kepala.