Perempuan, Memangnya Kenapa Kalau Tidak Cantik?

waktu baca 5 menit

“Hanya karena kamu tidak cantik, bukan berarti kamu tidak dapat hidup dengan baik.”

Perempuan selalu diidentikkan dengan kecantikan, kelembutan, keramahan, kesopansantunan, dan hal-hal lain yang mengisyaratkan keindahan. Jika tanpa hal itu di dalam dirinya, kemudian perempuan belum akan dipandangan  sebagai sosok perempuan  seutuhnya. Stigma masyarakat yang tumbuh dalam lingkup patriarki seperti Indonesia ini memang memandang perempuan sebagai objek dari keindahan tersebut. Perempuanlah yang dinikmati. Bukan perempuan yang menikmati. Akibatnya selama ini perempuan secara tidak langsung tumbuh sebagai mesin pekerja keindahan, untuk kemudian disuguhkan kepada laki-laki dan lingkungan dimana ia tumbuh.

Perempuan memegang posisi sebagai produsen keindahan. Penciptan kecantikan. Karena itu akan aneh rasanya jika saja perempuan itu tidak cantik. Janggal rasanya jika perempuan itu tidak indah. Mengapa? Ya karena perempuan itu…ya..masa sih tidak cantik?

Ih, masa perempuan tidak manis? Masa perempuan tapi tidak teduh dipandang? Masa perempuan tidak buat hati nyaman? Masa sih? Masa iya?

Terlebih lagi dominasi agama yang dianut oleh sebagian besar masayarakat Indonesia mengatakan bahwa perempuan adalah sumber keindahan yang harus dijaga. Pusat kecantikan yang bisa jadi fitnah akhir masa. Maka pemikiran bahwa perempuan bertanggungjawab atas peran sebagai objek ini makin laris manis di pasaran, hingga saat ini. Tanggungjawab yang dibebankan secara sepihak, tapi bahkan tetap mau dipelihara sampai sekarang.

“Semua perempuan itu cantik dengan caranya masing-masing.”

Ah masa iya?

Dalam tulisan ini penulis menolak pandangan tersebut.

Pemikiran yang mengharuskan perempuan untuk tetap satu paket dengan kecantikan ini adalah salah satu produk pelemahan kualitas perempuan. Penitikberatan nilai perempuan berdasarkan kecantikan yang dimiliki sungguhlah menutupi hal-hal lain yang sebenarnya ada pada dirinya. Kemudian akan dikatakan bahwa kalimat di atas adalah sejenis kalimat penguatan. Bahwa setiap orang akan indah dengan keunikannya. Perempuan akan cantik dengan jalannnya masing-masing. Tentu. Hal itu tidak sepenuhnya salah. Namun juga sekaligus mengisyaratkan fakta bahwa narasi yang selama ini kita pegang teguh adalah semacam jimat yang menunjukkan bahwa “betapa takutnya perempuan itu dipandang jelek” dan ” betapa takutnya perempuan yang satu mengatai perempuan lainnya bahwa mereka sesungguhnya jelek.”

Narasi yang terus-menerus diulang dan dimasukkan dalam otak perempuan adalah bahwa tidak perduli bagaimanapun keadaanmu, kamu akan cantik apa adanya. Hal-hal seperti inilah yang kembali membawa perempuan ke satu titik yang sama :

Perempuan-harus-cantik. Perempuan tidak bisa dipisahkan dengan kecantikan. Kalau tidak cantik, maka bukan perempuan.

Kemudian perempuan disuapi lagi dengan kalimat lain dengan nama inner beauty. Ah…klasik.

“Tidak apa-apa luarnya jelek, asalkan hatinya cantik.”

“Yang penting dalamnya cantik, luarnya juga pasti akan terpancar kecantikannya.”

Balik lagi bukan? Selalu ke titik yang sama. Hal yang itu lagi, diulang dalam bentuk berbeda, namun doktrinnya masih dalam satu liga : kecantikan. Saking terobsesinya sistem masyarakat dengan perempuan dan kecantikan sampa-sampai kemudian menghadirkan kalimat inner beauty, hati yang cantik. Hal ini bahkan lebih menunjukkan ketakutan yang dimiliki oleh masyarakat kita, untuk mengatakan hal yang sebenarnya bahwa memang benar ada perempuan yang tidak cantik. Tapi kemudian hal itu dibungkus sedemikian rupa, ditambahkan bumbu-bumbu penghiburan. Mengatakan walaupun perempuan tak cantik luarnya, namun jangan khawatir, karena masih bisa mengejar cantik yang di dalam. Semuanya demi apa? Ya demi balik lagi ke standar awal, bahwa perempuan-harus-cantik.

Lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah…

“Memangnya kenapa sih kalau tidak cantik?”

“Apa yang didapatkan perempuan dari pengakuan kecantikan?”

“Apa yang hilang dari perempuan bila tidak mendapatkan label kecantikan?”

Jawabannya adalah karena memang hal-hal cantik dalam sistem masyarakat ini selalu ditandai dengan hal-hal spesial dibandingkan dengan hal yang tidak cantik.

“…yaudahlah, untung cantik.”

“Ckck, untung saja deh mukanya cantik.”

“Sudah tidak cantik, sok lagi…” –nah, lantas yang cantik boleh sok?

“Hitam, pendek, muka kaya begitu, banyak tingkah lagi.” — nah memangnya yang mukanya bagus boleh tingkahnya banyak?

Kecantikan ini menjadi bias adanya, apakah menjadi batu loncatan, atau malah batu sandungan, sampai dihimpit dan tidak kelihatan. Menjadi batu loncantan jika memang si perempuan itu bejo. Mukanya cantik, ditambah punya bakat baik, skill mumpuni, nah..lanjutlah dia dengan aman dan senotsa.

Namun kemudian bisa jadi bias kalau misalnya ia memiliki kualitas lain tapi tidak hadir dengan pengakuan cantik ini.  Penilaian perempuan akan kecantikannya justru melemahkan kenyataan bahwa nilai yang ia miliki bukan hanya pada wajah, namun sungguh pada hal-hal lain yang tetap bisa digapai walaupun wajahnya tidak menyandang predikat cantik. Atau bahkan jika hatinya tidak diberi label si inner beauty. Perempuan itu ambisius, humoris, perfeksionis, fleksibel, ramah, pekerja keras, open minded, misalnya. Dan hal-hal tadi bisa berdiri sendiri walaupun tidak harus dilegalkan dan dimasukkan sebagai salah satu anggota si label cantik.

Hanya karena perempuan tidak  memiliki label cantik, bukan berarti ia tidak bisa hidup dengan baik.

Mengapa kemudian kita tidak mulai saja dengan hal-hal yang lebih melegakan, tanpa harus pura-pura memuji “kamu cantik….ah tidak kamu kok yang lebih cantik?”

Mengapa kita tidak mulai saja menerima dan merasa baik-baik saja dengan kenyataan bahwa ya memang ada perempuan yang wajahnya menarik, dan ada yang tidak. Dan itu baik-baik saja, tanpa harus menambahkan–kamu cantik dengan caramu sendiri? Ya kalau memang jelek, tidak cantik memangnya kenapa? Apakah dengan begitu masalah besar sampai organ-organ di badan tidak bisa berfungsi normal? Kan tidak juga.

Kenapa kemudian tidak mulai menerima bahwa kecantikan bukanlah harga dari sebuah kelayakan hidup? Hanya karena perempuan tidak cantik, bukan berarti mereka tidak berharga. Bukan berarti mereka tidak dapat menikmati hidupnya. Dan bukan berarti mereka harus mengejar label cantik hanya agar bisa merasa sebagai perempuan seutuhnya.

Mengapa kita tidak berhenti saja untuk merasa tidak baik-baik saja dengan fakta bahwa memang wajah ini ada yang cantik, dan ada yang jelek?

Perempuan, dimanapun kamu berada. Tidak ada yang perlu ditakutkan hanya karena wajah yang menempel di tubuh ini tidak mendapatkan sertifikat cantik. Hal itu tidak akan pernah mengurangi kenyataan bahwa kamu tetaplah manusia berharga seutuhnya. Kalaupun nantinya kamu menyukai kecantikan dan ingin mengejarnya, pastikanlah karena hal itu memang karena kamu berdaya dan ingin dia. Bukan membabi buta karena sebagian besar  orang ingin kamu untuk melakukannya. Karena sungguh…tidak masalah kalaupun tidak cantik. Tidak masalah. Sebab kamu masih sangat bisa hidup dengan baik, walaupun tanpa masuk geng si cantik.