Polemik 7 Spanduk Penolakan Gereja di Jagakarsa….

GIRLISME.COM – 7 Spanduk tersebar di titik-titik umum daerah Jagakarsa, berisi penolakan warganya akan kemungkinan pengalihfungsian salah satu bangunan rumah di daerah tersebut, sebagai tempat ibadah umat Kritsiani.

Indonesia menjamin kebebasan beragama secara tertulis dalam UUD 1945, menjadi salah satu hak asasi yang harus dilindungi dan didapatkan oleh masing-masing warga Negara.

Namun kemudian hal ini tidak selalu berjalan mulus, layaknya kasus yang baru saja terjadi, yang melibatkan umat Muslim dan umat Kritsiani. Peristiwa ini dimulai dengan adanya permintaan Yayasan Wisesa Wicaksana untuk mengalihfungsikan bangunan rumah di daerah Jagakarsa menjadi tempat ibadah GKI Ampera.

Namun karena memang hal ini membutuhkan proses administrasi dan perizinan sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) No. 8 dan 9 tahun 2006, maka hal ini harus diurus terlebih dahulu.

Tapi kemudian saat hal ini dibicarakan dengan warga Jagakarsa, mereka menolak, dengan klaim bahwa sebelumnya sudah ada perjanjian dengan pihak yayasan, bahwa mereka tidak akan mengubah tempat tersebut menjadi lokasi peribadatan.

Warga marah dan merasa dikhianati karenanya.

Mereka mengamuk, dan video tersebut menyebar di dunia maya.

Ketika membicarakan mengenai hal ini, sebenarnya ada beberapa hal yang harus kita cermati :

 

1. Evaluasi atas PBM No. 8 dan 9 tahun 2006

PBM ini terdiri dari 3 hal pokok, yaitu ; pelaksanaan tugas perangkat daerah untuk memelihara kerukunan umat beragama ; Pemberdayaan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), dan Pendirian rumah peribadatan.

PBM ini diresmikan karena memang polemik terkait dengan berdampingannya 6 agama d Indonesia ini harus dibuatkan payung hukum yang komperhensif, agar tidak memunculkan perpecahan antar satu sama lain.

Namun sayangnya dalam pelaksanaannya sendiri aturan di dalam PBM ini memiliki unsur yang sarat sebagai pemicu konflik.

Apakah itu?

Dalam Bab IV pasal 13-17 yang mengatur tentang pembangunan rumah peribadatan, dijelaskan di sana bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar administrasi dan izin atas tempat peribadatan tersebut dapat disetujui. Antara lain harus ada sekurangnya 60 orang masyarakat yang setuju dan memberikan dukungan.

Selanjutnya ada persyaratan bahwa rumah ibadah tersebut sekurangnya harus memiliki 90 orang jemaat.

Hal ini tentu sangat menyulitkan bagi agama minoritas untuk mendapatkan akses tempat peribadatan. Apalagi jika sering terjadi konflik seperti ini, antar umat beragama satu dan lainnya ada semacam balas dendam, dan ini terjadi berulang kali…terus-menerus. Peraturan ini harus ditinjau kembali, karena sangat beresiko menaikkan tensi bagi satu sama lain.

2. Masalah kemarahan warga…

Dalam video yang beredar, memperlihatkan warga yang marah, berteriak dan datang ingin mengusir atas permintaan pengaluhfungsian bangunan menjadi gereja.

Sebenarnya tanpa melakukan kemarahan seperti inipun, izin pengalihfungsian tetap tidak bisa keluar. Gereja tetap tidak akan bisa dibangun di sana. Warga yang awam akan PBM No 8 dan 9 tahun 2006 menyebabkan mereka kurang memahami jalur peraturan yang harusnya ditempuh dalam pembuatan tempat peribadatan. Sebenarnya hal ini bisa diselesaikan dengan duduk bersama, dan menyatakan penolakan dengan damai. Masalah ini tidak harus jadi viral dan mencoreng toleransi, jika saja emosi satu sama lain bisa diredam.

 

3. Kehadiran 7 spanduk…

Sebenarnya spanduk inilah yang membuat makin geger. Andaikan spanduk penolakan berisi kata-kata keras ini tidak dipasang, bahkan sampai di 7 titik, masalah ini pastinya tidak akan jadi sebesar dan seheboh ini. Keberadaan spanduk inilah yang sebenarnya memancing polemik, menjadikan masalah izin yang awalnya biasa saja, menjadi luar biasa…dengan headline mempertentangkan antara umat Muslim dan umat Kristiani.

 

4. Media harus terbuka…

Dalam beberapa penjelasan dan penelitian terdahulu diketahui bahwa polemik terkait pembangunan rumah peribadatan ini bukanlah hal yang baru. Sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun yang menjadikan masalah ini semakin rumit juga adalah media yang mengambil aji mumpung, dengan mengangkat bahasan ini sebagai pendongkrak rating. Beberapa media kemudian hanya menghadirkan berita dengan tujuan ingin  membuat gaduh, mendatangkan perdebatan di kolom komentar, dan tensi tinggi berisi kesalahpahaman. Tujuannya agar interaksi yang terbangun antar audiens menjadi semakin tinggi.

Akibatnya berita ada yang hanya dari satu sisi saja, berita dipotong, dikurnagi penjelasannya, juga tidak memberikan pengarahan dan edukasi tentang bagaimana seharusnya hal ini disikapi dengan cara yang lebih bijak.

Hal ini berpengaruh pada bagaimana masyarakat kita sebagai masyarakat plural menanggapi isu ini. Sudahlah sensitif, ditambah pula pemberitaan yang tidak penuh, menjadikan masalah semakin runyam.

“Jangan Tumpahkan amarahmu, niscaya surga akan kau dapatkan.” – Muhammad SAW ( HR. Thobrani, Shohih)

“Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa pada kejahatan.” (Mazmur 37 : 8)

 

Sesungguhnya kedamaian adalah inti dari setiap ajaran agama. Kedepannya jika masalah seperti ini terjadi, hendaknya poin-poin mengenai landasan hukum harus dilihat kembali, sebelum berkomentar gaduh dan main hakim sendiri. Perlu diingat kembali bahwa pertengkaran yang terjadi, dan terulang terus-menerus ini pada akhirnya akan mematikan toleransi dan kedamaian yang ada dalam tiap ini ajaran agama.


Posted

in

by