GIRLISME.COM – Beberapa hari terakhir ini media santer memberitakan terkait dengan kegiatan prostitusi online yang melibatkan VA dan AS. VA dan AS merupakan dua di antara lima orang yang terjaring oleh Polda Jawa Timur pada 5 Januari 2018 lalu. Berita ini langsung ramai muncul di media sosial, terlebih lagi karena posisi VA yang merupakan seorang public figure.
Dalam tulisan ini saya tidak membahas perandaian 80 juga bisa dapat apa, bukan juga membahas tentang fakta-fakta heboh yang harus kamu ketahui tentang VA, bukan juga mengulik kehidupan pribadi VA, keluarga, dan kisah cintanya pada zaman batu.
Tulisan ini berniat membeberkan 4 dosa media yang dilakukan terhadap VA terkait dengan pemberitaan kasus prostitusi online.
1. Polda Jawa Timur belum merilis apapun terkait identitas, dan media sudah main hakim sendiri.
Berita terkait terciduknya VA dan AS ramai diperbincangkan oleh media online. Hal keliru yang dilakukan media adalah menghilangkan asas praduga tak bersalah yang dimilikioleh VA, dengan mencatut nama Vanessa Angel, padahal polisi belum satupun yang mengeluarkan rilis resmi! Media tidak seharusnya melakukan hal ini! Terlebih lagi menggunakan cocokologi-cocokologi dalam membongkar identitas VA dan AS, dan bukan dengan bukti berupa fakta-fakta dari polisi. Media menghilangkan asas praduga tak bersalah, identitas VA diumbar semaunya, dan bahkan sudah menyebar dengan asumis yang bermacam-macam, tanpa landasan bukti yang jelas. Dalam hal ini, AS dan VA diposisikan seolah-olah sebagai seorang tersangka, padahal pihak polisi belum merilis apapun terkait dengan status VA.
Bahkan setelah hasilnya keluarpun keduanya diputuskan berstatus saksi, bukan tersangka.
2.Bias male gaze dalam setiap pemberitaan media.
Nama Vanesa Angel sangat ramai diperbincangkan, walaupun polisi belum menyuarakan rilis dan fakta apapun, namun media langsung menggunakan kasus ini sebagai salah satu pendongkrak rating dan viewers. Hal keliru yang dilakukan oleh media adalah memberitakan kasus ini dengan sudut pandang laki-laki. Apa akibatnya? Posisi VA berada dalam kondisi yang dipojokkan. Bahkan pemberitaan terkait R dibahas beberapa hari setelah pemberitaan tentang kasus ini diangkat. Dibandingkan dengan pembahasan tentang VA dan AS, si R ini memiliki intensitas ‘digibah’ media dalam angka yang rendah.
Dalam pandangan male gaze, posisi perempuan dilihat sebagai ‘objek’, hal ini rupanya yang digunakan oleh media ketika menulis mengenai perkembangan kasus ini. Posisi VA dan AS langsung didapuk layaknya tersangka, dengan mengambil semua informasi terkait keduanya, dengan meminggirkan pemberitaan terkait R, yang diketahui sebagai inisial yang muncul setelahnya, sebagai dalang yang menggunakan jasa VA.
Di media juga ramai diperbincangkan tentang bagaimana VA ‘digunakan’, ‘dipesan’ oleh R. Narasi seperti ini mengindikasikan memang VA lah pihak yang dijadikan objek, a.k.a sebagai perempuan yang ‘dipakai ‘oleh laki-laki. Yang tidak adil di sini adalah si laki-lakinya, yang seharusnya juga menerima penghakiman, malah lolos. Seolah-olah laki-lakinya tidak bersalah karena bukanlah hal yang heboh untuk dibicarakan. VA jadi lebih asyik untuk dikulik-kulik.
Padahal secara hukum pidanapun, yang berhak untuk mendapatkan status tersangka adalah mereka yang menggunakan jasa tersebut. Tapi karena memang si perempuannya,yang notabene adalah seorang artis, sehingga lebih lezat untuk dijadikan sebagai judul berita, maka keberadaan di R ini hanya sepoi-sepoi saja.
3. VA dan AS ‘ditelanjangi’ habis-habisan.
Foto VA digunakan dalam berbagai macam konteks. Mulai dari iklan pembesar payudara, foto keharmonisan keluarga yang bertema seksual, bahkan untuk latar gambar kata-kata galau. Tujuannya adalah agar viral. Strategi ini membuktikan bahwa media sedang keranjingan VA.
Tidak cukup di sana, VA juga ditelanjangi melalui obrolan 80 juta bisa dapat apa.
Belum puas juga, media membuka kembali album-album VA lainnya, mulai dari masa lalunya, hubungan asmaranya, keluarganya, dan juga citranya ke sesama artis. Intinya apapun mengenai VA menjadi resep laris media. Bahkan sampai menjadi salah satu trending topic di Twitter mengenai 80 juta bisa dapat apa. Bukan hanya media, ternyata si 80 juta ini juga dijadikan aji mumpung oleh beberapa pihak,s ebagai bahan jualan dan promosi.
AS juga semakin panas diberitakan,terlebih lagi dengan posisinya sebagai model majalah dewasa. Ia juga dibicarakan karena memiliki tarif yang lebih rendah dari VA,yaitu berkisar di 25 juta rupiah.
Pembicaraan mengenai bentuk tubuhpun dimulai, setiap orang mulai menelanjangi keduanya, dan membahas mereka terkait dengan ‘harga jual’yang dimiliki. Mengeksploitasi mereka dengan kalimat-kalimat seksis, tanpa ampun.
Dan apa kabar R?
R secara keseluruhan tidak diberitakan dengan negatif, sebab hanya diketahui inisial dan kenyataan bahwa ia adalah salah satu Crazy Rich Surabayan. Orang-orang kuput untuk mengevaluasi moral R, dan menimpakan semua hujatan pada AS dan VA.
Tiga hal ini sangat merugikan AS dan VA. Didakwa secara sosial, dihakimi oleh masyarakat, dicibir dan dijadikan olok-olokan, ditambah pula oleh media yang tidak mengedukasi masyarakat terkait dengan hukum prosititusi, namun malah menjadikan hal ini sebagai bahan dagangan. Semakin beringas masyarakat dalam menghakimi, semakin naik keuntungan mereka, para penjaja berita.
Media berdosa atas AS dan VA. Dosa mereka banyak dan besar terhadap bagaimana citra perempuan tumbuh di masyarakat. Berita yang dibuat layaknya makanan cepat saji, yang penting ‘enak’ dan ‘lezat’untuk dinikmati, walaupun belum tentu bergizi.
Tapi siapa yang perlu berita bergizi??
Yang paling penting kan berita yang laku!
Hahaha.