Komodifikasi Musibah di Media, Semakin Sedih Semakin Laku Semakin Laris Manis!

GIRLISME.COM – Tahun 2018 ini Indonesia sedang mengalami banyak cobaan. Musibah bertubi-tubi dimulai dari gempa, tsunami, longsor, hingga angin puting beliung. Kejadian-kejadian memilukan ini muncul dalam rentang waktu singkat dan tidak terprediksi sebelumnya.

Bencana besar yang terjadi baru-baru-baru ini adalah trunami di Selat Sunda yang dikarenakan ativitas Anak Gunung Krakatau. Musibah yang terjadi paa Sabtu malam, tanggal 22 Desember ini menimpa beberapa daerah di Banten dan Lampung.

Salah satu yang membuat bencana kali ini menjadi semakin disorot, selain karena kerusakannya yang masif, dan banyak memakan korban, adalah karena hadirnya bintang-bintang selebriti dalam musibah tersebut. Seperti yang diketahui tsunami terjadi ketika tengah berlangsungnya sebuah acara konser, yang berlokasi di dekat pantai. Tsunami yang terjadi karena aktivitas Anak Gunug Krakatau tersebut memang tidak diawali oleh gempa terlebih dahulu, karenanya ketika air menerjang, oang-orang yang berada di daerah pantai sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri.

Band Seventeen adalah salah satu yang menjadi korban dari musibah tersebut, mengakibatkan tiga personilnya Herman (gitaris), Bani (basis), dan Andi (drummer) meninggal dunia. Istri Ifan sang vokalis juga tidak bisa diselamatkan. Menjadikan Ia sekarang hanya seorang diri yang selamat. Momen berduka ini benar-benar menyesakkan dan membuat pilu. Terlebih lagi kondisi Ifan yang selamat dari musibah masih dihantui oleh trauma dan kesedihan karena ditinggal oleh empat orang terdekatnya di waktu yang sama. Ivan juga membutuhkan beberapa hari sebelum akhirnya menemukan jasad rekan dan istrinya.

Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bukan tentang seberapa kasihan dan menyedihkannya kisah Ifan, yang kemudian disambungkan dnegan hal-hal gaib layaknya pesan terakhir, kalimat-kalimat terakhir, atau gelagat-gelagat pertanda kematian dari sahabat dan istrinya, namun lebih kepada mengrtitisi kebiasaan buruk yang masih dilakukan oleh media kita sampai saat ini,

yaitu menjual kesedihan dan kesengsaraan.

Komodifikasi Musibah dan Kesengsaraan

Komodifikasi adalah pengubahan nilai guna menjadi nilai jual. Dalam berita sendiri hal ini berarti mengubah informasi yang awalnya bertujuan untuk memberitakan sesuatu menjadi sebuah konten yang niatnya digunakan sebagai barang dagangan, untuk menaikkan penonton, rating, dan iklan. Band Seventeen merupakan salah satu contoh ketika musibah dan kesedihan dikomodifikasi oleh media. Yang awalnya seharusnya fokus pada pemberitaan untuk menginformasikan kejadian dan kronologinya, namun kemudian berubah menjadi pemberitaan yang melibatkan perasaan, dan hal-hal lainnya yang bisa disambung-sambungkan.

Berita duka kemudian berubah jadi berita cocokologi.

Ifan Seventeen diwawancarai dan dimintai keterangannya sebagai saksi hidup dalam musibah tersebut. Jika masih berkaitan seputaran kronologi musibah, kejadian yang ada saat air menerjang, hingga proses ia menyelamatkan diri, juga keadaan sekitarnya kala itu pastinya masih wajar dan sangat relevan. Namun kemudian ketika bahasan sudah sampai pada…

“Bagaimana perasaan kamu kehilangan sahabat dan istri??”

Ya Tuhan, pertanyaan seperti itu ya tidak perludiatanyakan, ya pasti sangat sedihlah.

Apalagi sampai ke model-model pertanyaan…

“Apa ada gelagat-gelagat aneh dari Dylan sebelum kejadian tsunami?”

“Apa ada tanda-tanda aneh yang ditunjukkan oleh sahabat-sahabat?”

“Apa ada mimpi yang hadir, sebagai sebuah petunjuk??”

Pertanyaan di atas bukan lagi fokus pada pemberitaan bencana, tapi malah mengulik hal-hal personal Ifan. Ia tidak lagi dihormati privasinya sebagai seorang korban yang masih dalam keadaan berduka, malah diminta untuk mengulangi cerita dari awal kejadian, hingga ke detik-detik kematian sahabat dan istrinya.

Media tidak menghormati trauma yang dihadapi oleh Ifan, melainkan memanfaatkan momen tersebut untuk mendapatkan suasana yang sedih, mengharukan, dan mengundang perhatian penonton.

Alih-alih fokus pada kronologi dan penjelasan lainnya, media malah lebih tertarik pada hal-hal gaib yang bisa dibesar-besarkan. Seperti kelakuan istri Ifan sebelum meninggal. SMS terakhir mereka. Kalimat terakhir yang dikatakan, sampai mimpi dan firasat-fisarat yang mungkin dirasakan. Hal-hal yang sebenarnya tidak memberikan pencerahan pada kronologi bencana namun lebih ingin menampilkan kesedihan dan trauma Ifan sebagai korban.

Berita duka kemudian berubah jadi berita cocokologi.

Mulai dari acara berita sampai infotainment mengangkat masalah Ifan dan kehilangannya, dengan memfokuskan pada hal-hal yang bisa mendatangkan kesedihan dan keprihatinan. Hal ini menjadikan keadaan belasungkawa berubah menjadi konten wawancara.

Ifan bahkan sudah dimintai waktu wawancara sehari setelah bencana, dan setelah penguburan jasad istrinya. Media bahkan terlihat begitu bangga mewawancarainya secara eksklusif ketika masih dalam balutan tempat ziarah dan muka sembab sisa menangis.

Bad news is a good news, indeed…

Namun kedepannya privasi dan hak empati harusnya lebih bisa diberikan oleh media kepada para korban bencana. Menanyakan masalah perasaan, kesedihan, dan gelagat-gelagat aneh sebelum kejadian sama sekali bukanlah hal yang pantas diungkit, terlebih masih dalam keadaan berduka. Hormati keadaan korban yang penuh dengan rasa trauma sebelum mengulik tentang firasat, mimpi, sampai hal-hal aneh yang dirasakan sebelum dilanda kelamangan.


Posted

in

by