Kalau Perempuan Boleh Menjadi Kuat, Lantas Apakah Laki-laki Boleh Menjadi Lemah??
GIRLISME.COM – Pernah mikir nggak kenapa di masyarakat kita laki-laki selalu diyakini jadi pihak paling kuat? Pihak yang pling bertanggungjawab, paling kebal, paling tahan banting? Kalau misalnya hal-hal di atas nggak dipenuhi, apakah artinya dia bukan laki-laki?
Patriarki merupakan sistem yang memosisikan laki-laki sebagai pihak yang lebih baik daripada perempuan. Dianggap sebagai pihak yang didahulukan dan lebih wajar dalam melakukan hal-hal yang sifatnya penting. Sedangkan perempuan dianggap sebagai gender lapis kedua, yang kemudian hanya diberikan tugas tambahan, yang melengkapi tugas laki-laki.
Hal ini lantas menimbulkan banyak pelabelan atas laki-laki dan perempuan, yang sampai sekarang dianggap sebagai sebuah ketentuan sosial. Misalnya laki-laki kuat, dan perempuan lemah. Laki-laki wajar bekerja di luar rumah dan perempuan tidak wajar. Laki-laki boleh pulang malam dan perempuan tidak. Laki-laki boleh sekolah tinggi sedangkan perempuan tidak. Laki-laki yang memimpin dan perempuan yang dipimpin.
Narasi-narasi tadi adalah bagaimana laki-laki dilihat sebagai pihak yang memang harus bertanggungjawab atas perempuan. Posisinya ada di atas perempuan, bukan setara apalagi di bawahnya. Karena itulah kemudian laki-laki diidentikkan dengan gambaran yang kuat, keras, tahan banting, dan tabah, tidak cengeng. Karena di mata sosial, sifat-sifat itu harus dipunyai oleh laki-laki dalam rangka memimpin perempuan yang notabene sifatnya lemah, lembut, manja, cengeng, dan sangat terkat dengan sopan santun.
Sejujurnya pikiran ini begitu mengekang dan membatasi laki-laki. Memaksa laki-laki untuk tetap pada jalur sifat-sifat ideal yang diterima oleh masyarakat, demi agar bisa dianggap cukup laki. Karena satu saja sifat itu meleset atau tidak dijalankan, maka bisa saja si laki-laki itu dianggap banci, tidak tanggungjawab, cemen, dan tidak punya taji. Sampai melupakan bahwa laki-laki juga adalah manusia biasa yang punya titik lemah, bisa lelah, jenuh, sedih, kecewa, dan marah. Laki-laki harusnya bisa diberikan kesempatan yang sama untuk bisa memiliki ekspresi rasa yang sama.
Laki-laki nangis, dianggap kurang laki. Kok bisa? Padahal sebagai manusia dia punya kantung air mata lho, artinya dia memang bisa menangis. Hal ini berarti yang bisa nangis bukan cuma perempuan, tapi laki-laki juga.
Seseorang tidak boleh cengeng bukan karena dia laki-laki. Bukan. Tidak ada hukumnya perempuan halal menangis meraung-raung dan laki-laki pantang meneteskan air mata. Tidak ada. Laki-laki ataupun perempuanĀ keduanya harus bisa jadi kuat bukan karena gendernya, tapi karena mereka manusia yang butuh menjadi sosok lebih baik.
Laki-laki berhak memilih warna pakaian. Berhak untuk tidak olahraga dan diam di dalam rumah. Berhak menjadi lembut dan penyayang. Berhak untuk tidak merokok. Berhak untuk meminta bantuan. Laki-laki berhak sedih, marah, kecewa, dan ketakutan. Intinya, laki-laki berhak menjadi manusiawi, tanpa dianggap menjadi ‘kurang laki’.