GIRLISME.COM – Perempuan dan seksualitas, dua hal yang menjadi tabu namun paling menarik diperbincangkan. Dua hal yang harus disembunyikan namun di saat yang sama diucapkan dalam hingar bingar. Salah satu hal yang begitu identik dengan seorang perempuan adalah keperawanan. Nilai perempuan diukur dari selembar selaput dara, yang kemudian dijadikan simbol dari sebuah kesucian.

Akibatnya perempuan tidak lagi dilihat sebagai seorang individu yang utuh, yang memiliki nilai prestasi, pendidikan, dedikasi kerja dan lainnya hanya karena sebuah selaput dara.

Posisi perempuan yang sejak dulu dijadikan pengepul asap domestik memang menjadikan selaput dara sebagai wujud diskriminasi paling abadi. Seorang perempuan dipasung dalam pertanyaan masih perawan atau tidak? Di saat laki-laki dirasa wajar dalam absennya keperjakaan yang dimiliki.

Malahan….siapa pula yang perduli pada keperjakaan laki-laki??

Ranah vagina perempuan kemudian jadi ranah publik, yang harus diketahui oleh orang lain. Oleh pasangan, oleh orangtua pasangan, demi mendapatkan gelar perempuan idaman. Alat vital perempuan yang awalnya begitu privat berubah menjadi konsumsi di luar akal sehat, yang kemudian dilabeli sebagai hal yang wajar.

Ya bagaimana mungkin bisa wajar, kamu menanyakan dan mengintervensi selaput dara perempuan??

Tapi di Indonesia, menanyakan hal seperti itu merupakan sesuatu yang biasa, dan bahkan harus dilakukan untuk mengetahui apakah si perempuan tersebut masih suci atau tidak. Apakah sudah digauli atau belum.

Kebanyakan pikiran ini datang dari orang-orang yang masih belum benar-benar mengetahui perihal selaput dara.

Banyak yang bilang bahwa selaput dara yang robek atau rusak menandakan bahwa seorang perempuan bukanlah seorang perawan lagi, padahal faktanya bukan seperti itu. Dalam dunia medis, selaput dara justru tidak pernah ada korelasinya dengan keperawanan. Mengapa?

Sebab yang pertama, ada perempuan yang lahir TANPA selaput dara, dan dalam dunia kedokteran, hal ini merupakan fenomena yang wajar. Karena itulah keperempuanan seseorang tidak diukur dari keberadaan selaput daranya. Pembentukan selaput dara di mulai sejak dalam masa kandungan, dan prosesnya berbeda-beda bagi setiap perempuan. Jaringannya begitu tipis dan rapuh, sehingga memungkinkan pembentukannya tidak sempurna.

Hal ini kemudian mengantarkan kita pada fakta selanjutnya bahwa selaput dara perempuan ada yang TEBAL dan ada yang TIPIS. Bagi perempuan dengan selaput dara tipis, biasanya menjadi begitu entan untuk sobek, bisa karena aktifitas olahraga, bersepeda atau melakukan aktifitas fisik yang berat. Sehingga selaput dara yang tidak utuh lagi BUKAN hanya karena hubungan seksual!

Hal lain yang harus diketahui juga adalah bahwa bagi perempuan yang memiliki selaput dara yang TEBAL, bahkan masih tetap utuh dan tidak robek walaupun sudah terjadi penetrasi atau hubungan intim.

Apa yang dapat ditarik kesimpulan dari sini?

Hal-hal terkait dengan keperawanan bukanlah sesuatu yang dibebankan atas selembar selaput dara. Secara medispun pikiran ini dianggap salah dan sama sekali tidak berdasar.

Sehingga kedepannya kita harusnya lebih bijak dalam melihat fenomena selaput dara ini bukan sebagai sebuah momok yang mengintimidasi perempuan. Mengabaikan hal-hal baik lainnya hanya karena selembar selaput dalam vagina. Faktanya sudah ada, dijelaskan secara medis, bahkan sudah sampai tahap dunia—sebab World Health Organization (WHO) telah mengesahkan perihal pemeriksaan keperawanan lewat selaput dara merupakan sebuah kekerasan!

Vagina dan selaput dara perempuan merupakan ranah personal, yang tidak seharusnya terus-terusan diberikan ruang untuk mengintimidasi, bahkan menghilangkan nilai perempuan itu sendiri.