GIRLISME.COM – Media merupakan pilar sebuah negara, hal ini memiliki arti banyak, salah satunya adalah media memiliki tugas untuk menguatkan negara melalui pembangunan masyarakatnya. Namun ternyata media Indonesia tak selalu menjalankan perannya ini, melainkan menghadirkan konten yang tidak pas dengan semangat pembangunan masyarakat tadi.
Dalam acara televisi Indonesia, pastinya kita sudah snagat sering menemui kisah mengenai percintaan laki-laki dan perempuan, mengenai konflik dalam keluarga entah itu antar suami dan istri ataupun dengan anggota keluarga lainnya. Salah satu problema yang sering diangkat adalah mengenai perempuan dan konflik rumah tangganya. Dalam pengangkatan ini kemudian sebenarnya kita dapat melihat ada hal yang timpang atau tidak pas dalam bagaimana media mengemas pesan yang ada di dalam cerita tersebut.
Yang kemudian berimbas pada moral dan pemaknaan perempuan. Salah satunya mengenai wacana mandul dan bagaimana perempuan digambarkan di sana.
Wacana mandul dalam sinetron umumnya digambarkan dengan latar keluarga muslim, dengan perempuannya yang tak jarang berpakaian menggunakan hijab. Si perempuan ini kemudian menikah dengan laki-laki, dan menjalin rumah tangga. Namun di tengah-tengah cerita, ternyata pasangan ini tak kunjung mendapatkan anak. Si perempuan tak kunjung hamil.
Dan jalan keluar yang ada setelahnya adalah…si suami diminta menikah lagi. Entah itu karena maunya atau mau orangtuanya. Andaikan orangtua, pastinya yang berperan di sini adalah ibu. Seolah-olah memang perempuan itu hanya memiliki dua sisi, yaitu makhluk antagonis dan makhluk paling lemah.
Hal yang salah di sini adalah, media tak pernah memberitahukan pada masyarakat bahwa kemandulan itu bukan hanya milik perempuan, namun juga milik laki-laki. Perempuan bisa mandul, dan laki-laki juga punya kesmepatan yang sama untuk gagal memberikan keturunan.
Namun fakta ini tak disebarkan media, melainkan malah menitikberatkan kegagalan reproduksi pada perempuan, padahal nyatanya tidak seperti tiu. Hampir tidak ada kisah mandul yang menayangkan laki-lakinya depresi, dan perempuannya yang menuntut untuk kawin lagi. Semuanya pasti mengambil dari sisi perempuan yang mandul, menderita, dan konflik bathin akrena suaminya menuntut keturunan.
Semua beban ada di pundak perempuan, dan ini terus dilestarikan oleh media, tanpa perbaikan pengetahuan yang imbang.
Kemandulan atau infertilitas ini diidentikkan media sebagai salah satu kekurangan dan penyakit perempuan, padahal data yang real mengatakan bahwa lebih dari 50% kemandulan dalam rumah tangga justru disebabkan oleh pria.
“Diperkirakan saat ini kasus infertilitas yang terjadi di dunia sebesar 15 persen. Dan lebih dari 50 persen penyebab kemandulan tersebut datang dari kaum pria,” Sigit Solichin, ahli urologi Rumah Sakit Bunda Menteng kepada CNN Indonesia.
“Infertilitas atau gangguan kesuburan selama ini hanya dipandang sebagai masalah kaum perempuan, padahal sekitar 50 persen penyebab kesulitan hamil ini juga disebabkan karena faktor pria.” – Kompas.
Hal ini sebenarnya yang sangat jarang diberitahukan kepada masyarakat. Seolah-olah media sengaja menggunakan perempuan sebagai ladang untuk membuat konflik, padahal efeknya luar biasa pada pemikiran masyarakat yang menonton.
Kemandulan pada kisah-kisah sinetron perlu direpresentasikan dengan lebih bijak. Representasi yang buruk akan semakin membuat perempuan terpojokkan, menahan geliat kesetaraan laki-laki dan perempuan, serta tak memberikan edukasi sama sekali selain omong kosong yang justru menimbulkan kesalahpahaman.